KINDO PENDEKAR SABUK ROTAN Wasiat Di Puri Elang Karya : Bastian Tito NYANYIAN KINDO AKU SATRIA MUDA PERKASA SIAP MENGARUNGI BAHAYA TABAH DALAM SEGALA DERITA IMAN DALAM SEGALA SENGSARA AKU PENDEKAR MUDA PERKASA TIADA HARI TANPA TANTANGAN BERKELANA MEMBELA KEBENARAN SIAP TEGAKKAN KEADILAN SEBATANG KARA ANAK lelaki itu duduk di tangga kayu rumah tua. Dua tangannya ditopangkan ke dagu. Wajahnya murung. Pakaian lusuh dan rambut kusut. Dekat kakinya ada sebuah buntalan. Angin pagi bertiup sejuk membuat sepasang matanya terpejam-pejam. Sebelum kantuk menguasai dirinya anak ini cepat membuka kedua matanya lebar-lebar. Saat itu dia melihat di depannya ada seorang anak perempuan mendatangi sambil bernyanyi-nyanyi. Sampai di hadapan anak lelaki yang duduk di tangga kayu, anak perempuan tadi hentikan nyanyiannya. Dia menatap sesaat lalu menyapa. "Kindo. Wajahmu kulihat muram...." "Kanti.... Ah, kau rupanya. Aku memang lagi sedih nih. Kau tentu sudah mendengar kabar. Pamanku, satu-satunya tempat gantungan hidup tewas dicabik-cabik harimau di hutan..." "Aku turut bersedih Kindo," kata Kanti. "Kini aku bingung.Tak punya orangtua, tak punya Paman...." "Aku juga yatim piatu Kindo. Nasib kita sama." Kindo menggeleng. Kedua tangannya masih saja menopang dagu. "Aku kini sebatang kara. Kau masih punya Bibi. Kurasa apa gunanya aku tinggal lebih lama di desa ini." Kanti memandang pada buntalan dekat kaki Kindo. "Jadi kau mau pergi? Mau meninggalkan desa?" Suara anak perempuan ini tersendat. "Kau mau pergi ke mana Kindo?" "Dulu Paman pernah berwasiat. Sepertinya beliau punya firasat. Katanya, kalau terjadi apa-apa dengan dirinya aku harus meninggalkan desa. Pergi ke Puri Elang di puncak bukit Mega Biru." Kanti duduk di anak tangga paling bawah. Menatap pada Kindo yang duduk satu tangga di atasnya. "Puri Elang. Bukit Mega Biru..." ucap Kanti perlahan. "Aku pernah dengar nama itu. Letaknya jauh. Perjalanan ke sana sukar. Itu tempat angker yang tidak pernah didatangi manusia. Dan kau mau ke sana! Jangan pergi Kindo!" Kindo tak segera menjawab. Perlahan-lahan diturunkan kedua tangannya. "Sesuai wasiat Paman aku harus ke sana. Di sana aku bakal bertemu dengan seseorang yang akan memberi ilmu kepandaian..." "Ilmu kepandaian apa?" tanya Kanti. "Ilmu silat. Kata Paman ilmu yang kumiliki masih sangat rendah. Jika aku ingin jadi anak laki-laki, jadi seorang satria, jadi seorang pendekar, aku musti pergi ke sana. Aku mempunyai bakat yang orang lain tidak memiliki." "Aku tidak mengerti semua ucapanmu ini Kindo. Tapi siapa sih orang yang bakal kau temui itu?" "Aku sendiri tidak tahu siapa orangnya. Paman tidak menyebut nama atau apa....Ciri-cirinya juga tidak. Apa tinggi, bundar, lonjong, atau empat persegi." Kanti tersenyum tetapi jelas wajahnya gundah. "Kau ini yang bukan-bukan saja. Mana ada manusia berbentuk empat persegi." Setelah menarik nafas dalam anak perempuan ini melanjutkan. "Kalau kau pergi, aku harus ikut." Kindo terkejut dan berdiri. "Tidak mungkin Kanti.Tidak bisa!" "Mengapa tidak mungkin? Kenapa tidak bisa?! Bukankah kita berteman?" "Pokoknya tidak bisa!" kata Kindo pula. Paras anak perempuan itu menjadi redup. Saat itu sebuah pedati ditarik dua ekor sapi berhenti di depan rumah, kakek Purwo pemegang tali kendali melambaikan tangannya. "Cah bagus! Apakah kau sudah siap melakukan perjal anan gilamu?!" "Saya sudah siap Kek. Saya kira kau tidak bakal datang. Saya sudah lama menunggu!" "Tapi aku tidak mau berlaku segilamu. Aku tidak akan mengantarmu sampai ke puncak bukit Mega Biru!" "Terserah. Kau mau mengant arkan sampai di mana! Saya tetap akan berterima kasih!" kata Kindo. Lalu ia berpaling pada anak perempuan itu. "Kanti, aku pergi sekarang. Selamat tinggal..." "Selamat jalan Kindo," balas Kanti menahan sesenggukan. Kindo melompat ke atas pedati. "Kindo! Buntalanmu ketinggalan!”seru Kanti. "Astaga! Tolong lemparkan!" Kanti melemparkan buntalan itu ke atas pedati. Kindo melambaikan tangannya. Pedati mulai bergerak. Air mata merebak jatuh di pipi Kanti. Dalam hatinya anak perempuan ini meratap. "Aku kehilangan teman bermain. Aku kehilangan teman berbagi suka dan duka....Kindo, nasibmu mungkin buruk. Tapi rasanya aku tidak lebih baik...." Gudang Ebook (ebookHP.com) http://www.zheraf.net HAMPIR DISANTAP RAJA HUTAN PEDATI berhenti di tepi hutan jati. Kakek yang memegang tali kekang dua sapi penarik pedati berpaling pada Kindo. Anak ini baru saja terbangun dari tidur lelapnya. Sambil menguap dia memandang berkeliling. "Kek, kenapa berhenti?" "Aku hanya sanggup mengantarmu sampai di sini. Sebentar lagi matahari akan tenggelam. Aku tidak mau kemalaman sampai di tujuan..." Kindo tersenyum. "Bilang saja yang sebetulnya Kek. Kau takut dekat-dekat bukit Mega Biru, bukan?" "Ssttt... Jangan sebut itu. Dengar, aku kenal Ayahmu. Dia orang berilmu dan pemberani. Sayang dia mati muda. Aku juga kenal Pamanmu. Sama hebatnya dengan Ayahmu. Ternyata kau mewarisi keberanian mereka. Aku, kakek-kakek rongsokan ini biar jadi manusia penakut saja...." Kindo menguap lagi. Lalu mengambil buntalannya. "Kek, arah mana yang harus saya tempuh?" "Bukit itu terletak di balik hutan ini. Berarti untuk mencapainya kau harus menembus hutan…" "Wah, malam-malam masik hutan bisa berabe. Mending kalau tidak ada binatang buas, ular berbisa. Mungkin juga ada setannya! Uh...!" "Katamu kau mau jadi satria muda. Pendekar muda. Belum apa-apa sudah takut sama binatang buas dan setan! Mana keberanian warisan Ayah dan Pamanmu!” Si kakek ganti menyindir. "Ah! Siapa yang takut!” kata Kindo jadi bers emangat mendengar ejekan si kakek. Cepat-cepat dia melompat turun. "Kek Purwo!” seru Kindo. Tapi si kakek tidak menyahuti ataupun menoleh. Dia cepat-cepat membedal sapi-sapi penarik pedati. Makin jauh masuk ke dalam hutan makin gelap keadaannya. Berbagai suara binatang mal am masuk ke telinga Kindo. Sesekali ada suara seperti anjing menyalak. Lalu seolah-olah ada harimau mengaum di kejauhan. Nyamuk mendesing di sekelilingnya. Mengikuti ke mana dia pergi. Di satu tempat Kindo hentikan langkahnya. Dia mendekap buntalannya di depan dada. Lapat-lapat dia mendengar suara air mengucur. Anak ini meneruskan langkahnya. Kini dia berjalan ke arah suara air. Tak selang berapa lama, Kindo sampai di sebuah telaga kecil. Demikian beningnya air telaga ini sehingga meskipun gelap Kindo masih bisa melihat dasar telaga yang dangkal, dipenuhi batu-batu. Di salah satu bagian telaga ada susunan batu membentuk dinding tinggi. Dari dinding ini ada air mengalir masuk ke dalam telaga. Kucuran air inilah yang terdengar di kejauhan tadi. "Airnya jernih. Pasti sejuk. Aku minum dulu ah! Lalu cuci muka sepuasku!" kata Kindo. Buntalannya diletakkan di atas sebuah batu. Lalu dia membungkuk di tepi telaga. Dengan kedua tangan disenduknya air telaga dan diminumnya. Puas minum anak ini membasahi mukanya dengan air yang sejuk itu. Tiba-tiba telinganya menangkap suara gemerisik di sebelah depan. Kindo mengangkat kepala. Semak belukar di seberang sana bergerak-gerak. Lalu ada dua buah nyala kuning menyeruak di antara semak belukar yang terkuak. Jantung Kindo seperti mau copot. "Harimau..." desis anak ini. "Pasti harimau...." Secepat kilat Kindo melompat. Di seberang telaga terdengar suara mengaum. Tanah yang dipijak terasa bergetar. Kindo memandang berkeliling. Mencari tempat untuk lari. Tidak, aku tidak mungkin lari. Binatang ini pasti dapat mengejarku! Aku harus bersembunyi. Tapi di mana..." Auman binatang buas di seberang telaga kembali menggelegar. "Aduh, aku seperti mau kencing!” Kindo memandang berkeliling sekali lagi. Ada sebatang pohon. Tidak terlalu besar, juga tidak terlalu tinggi dan banyak cabang-cabangnya. "Mudah-mudahan saja binatang itu tidak bisa memanjat!" kata Kindo dalam hati. Lalu secepat yang bisa dilakukannya dia naik ke atas pohon. Dalam hal panjat memanjat anak ini memang sudah jadi juara sejak kecil. Sebentar saja dia sudah lenyap di balik kel ebatan cabang-cabang berdaun lebat. Memandang ke bawah jantungnya berdebar keras. Seekor harimau kuning berbelang hitam muncul di kaki pohon. Binatang ini mendongak ke atas. Lalu kedua kakinya menggapai-gapai seperti hendak memanjat. Pohon bergoyang keras. Kulit pohon hancur berkeping-keping. Di atas pohon Kindo menjepit kedua pahanya satu sama lain agar tidak terkencing-kencing. Dalam keadaan seperti itu suara hatinya berkata. "Takut sih boleh-boleh saja. Mengapa tidak pergunakan kesempatan ini untuk menjajal ilmu melempar yang diajarkan Paman. Bukan mustahil binatang ini yang menerkam dan menewaskan Paman. Saatnya membalas dendam!” Walau hatinya berkata begitu namun Kindo belum berbuat apa-apa. Dia tidak punya benda apa lagi senjata untuk dilempar pada harimau di bawah pohon. Dalam gelap tiba-tiba dia melihat dan untuk pertama kalinya menyadari. Pohon tempat dia bersembunyi itu memiliki banyak buah berwarna hitam, berkulit tebal keras. Berbentuk lonjong dan runcing ujungnya. Cepat Kindo memetik sepuluh buah sekaligus. "Arah bagian yang lemah! Arah kedua matanya!" Kindo menggerakkan tangan kanannya. Buah pertama melesat ke bawah tapi mental karena menghantam salah satu cabang pohon. Di bawah sana harimau tampak mulai memanjat naik. Kindo melemparkan buah yang kedua. Berhasil mengenai harimau tapi kena bagian badannya yang berbulu tebal. Jangankan cidera terasa sakit pun tidak. "Tololnya aku ini!" Kindo memaki diri sendiri. Lalu hatinya berkata. Tenang Kindo. Kau harus tenang. Buang rasa takutmu! Jangan biarkan dadamu berdebar dan tanganmu gemetar. Pusatkan pikiran. Harus kena! Harus kena matanya!" Kindo siapkan buah ke tiga. Membidik dengan hati-hati. Tangannya bergerak. "Wuuuttt!" Buah keras berujung runcing melesat dalam kegelapan malam. Lalu terdengar suara harimau di bawah pohon menggereng keras. Buah yang dilemparkan lagi-lagi meleset dari sasarannya. Bukannya kena mata melainkan masuk ke dalam lobang hidung sebelah kiri. Binatang buas ini membuka mulutnya lebar-lebar. Aumannya keras tapi terdengar agak aneh karena jalan pernafasannya tersumbat sebelah. Di atas pohon kembali Kindo mengomeli ketololannya. "Kindo bodoh! Mengapa kau tidak bisa memusatkan perhatian?! Arahkan pikiran! Pusatkan perhatian! Sekali ini harus kena mat anya! Matanya Kindo! Harus matanya! Kalau tidak kau akan celaka!" Buah ke empat berada dalam genggaman Kindo. Harimau di bawah pohon kembali mendongak dan menggapai-gapai. "Ini saatnya Kindo! Lempar!" Buah keras itu meluncur dalam kegelapan malam. Mengeluarkan suara berdesir. Tanda dilempar dengan kekuatan dan kemantapan. "Clep!" Kali ini berhasil! Benar-benar menancap di mata kanan harimau. Darah mengucur. Binatang ini mengaum dahsyat. Tubuhnya miring lalu jatuh ke tanah. Untuk beberapa lamanya dia berguling-guling kesakitan. Lalu sambil terus mengaum, terhuyung-huyung dia lari meninggalkan tempat itu. Kindo melepas nafas lega. Dia mengusap dadanya berulang kali. Setelah merasa benar-benar aman anak ini segera bersiap turun. Tetapi baru saja kakinya menginjak cabang pohon di sebelah bawah tiba-tiba tiga bayangan hitam berkelebat. Kindo cepat menarik kakinya, kembali mendekam di atas pohon di balik kelebatan daun-daun. HANTU PLONTOS DARI tempatnya bersembunyi di atas pohon Kindo melihat tiga orang berpakaian serba hitam tegak di tepi telaga. Tampang mereka sangar. Salah seorang dari mereka mendekati batu di mana terletak buntalan milik Kindo. "Siapa punya buntalan ini," katanya. Lalu memeriksa. "Sialan, cuma pakaian butut. Pakaian anak-anak!" "Berarti ada orang di tempat ini sebelum kita datang," kawannya berkata agak curiga dan memandang berkeliling. "Mungkin siang tadi ada anak-anak mandi di telaga. Lupa membawa buntalan pakaiannya," kata orang yang satu lagi. Kalian yakin rombongan pedagang kaya itu akan lewat di sini?" Orang ini memiliki kumis dan berewokan lebat. Tapi kepalanya botak plontos. Dari gelagatnya agaknya dialah yang jadi pimpinan di antara ketiga orang itu. "Katama, kalau tidak yakin mas akan kami membawamu ke tempat ini," menjawab orang di sebelahnya. Nam anya Sambradu. "Mereka berjumlah lima orang. Pedagang kaya itu sendiri, biasa dipanggil dengan sebutan Juragan Lor Bangkalan. Yang empat orang lagi para pengawalnya." "Hemmmm..." gumam orang ke tiga bernama Kecak. "Empat pengawal itu pasti orang-orang andalan. Kalau tidak mana mau Juragan Lor Bangkalan melewati rimba belantara ini. Apa lagi malam-malam begini." "Kabarnya Juragan Lor Bangkalan selalu memakai orang-orang dari Madura," ujar Sambradu. Katama menyeringai. Sambil mengusap-usap kepala botaknya dia berkata. "Siapapun mereka, akan kupotes kepala mereka satu persatu! Aku...." Katama hentikan ucapannya. "Ada nyala api di sebelah sana. Aku mendengar suara langkah-langkah orang menuju ke mari. Bersiaplah kalian!" Di kejauhan memang tampak nyala api, bergerak mendatangi dibarengi suara langkah-langkah kaki. Tak lama kemudian dari atas pohon Kindo melihat empat orang lelaki bertubuh besar, bertelanj ang dada hanya mengenakan celana pangsi hitam memanggul sebuah tandu. Dua di depan dua di belakang. Masing-masing membekal sebilah golok. Pada sisi kanan tandu, tergantung sebuah obor besar. Di atas tandu duduklah seorang lelaki luar biasa gemuknya. Seumur hidupnya belum pernah Kindo melihat orang segemuk ini. Orang ini mengenakan sehelai jubah berbunga-bunga. Lehernya jadi satu dengan dagu. Dada dan perutnya menyembul. Mukanya yang bulat dan selalu keringatan dihias sepasang m ata belok besar. Di atas tandu, dekat kakinya ada sebuah kantong kain. Yang namanya orang kaya, cincin emas berbatu permata besar melingkar pada tiga jari tangan kiri kanan. Tiga orang yang bersembunyi di kegelapan sesaat saling pandang. Katama berkata perlahan. "Aku belum pernah melihat pedagang kaya bernama Lor Bangkalan itu. Tapi aku yakin betul orangnya tidak seperti gajah bunting di atas tandu itu! Berarti kita menghadang orang yang salah!" Sambradu dan Kecak tak bisa menjawab apa-apa. Rombongan pembawa tandu tertatih-tatih sampai di tepi telaga. Si gendut mengangkat tangannya. "Kita berhenti di sini. Tempat ini cukup baik untuk bermalam. Besok pagi-pagi kita lanjutkan perjalanan." Empat orang pemanggul tandu yang memang sudah keletihan merasa bersyukur. Buru-buru mereka menurunkan tandu. Salah seorang dari mereka bertanya. "Juragan Lor Bangkalan, apakah kami perlu mendirikan tenda?" Si gendut yang dipanggil dengan sebutan Juragan Lor Bangkalan itu memandang ke sekeliling. "Tempat ini cukup teduh. Tak usah memasang tenda. Cukup bentangkan alas ketiduran saja. Tapi sebelum tidur aku mau berendam sebentar dalam air telaga. Pasti sejuk." Dengan dibantu dua orang pengawalnya, Juragan Lor Bangkalan turun dari atas tandu. Sebelum melangkah menuju telaga pedagang bertubuh gemuk ini berkata pada para pengawalnya. "Dua orang mengawalku dekat telaga. Dua lagi jangan jauh-jauh dari kereta. Aku tidak mau terjadi sesuatu dengan kantong berisi emas itu." Di tempat gelap Kecak berbisik. "Kita tidak keliru. Si gendut itu memang Juragan Lor Bangkalan. Tunggu apa lagi!" Tiga orang itu melompat keluar dari tempat gelap. Sambradu bergerak ke arah dua pengawal di tepi telaga. Kecak menyerang dua pengawal yang ada dekat tandu. Perkel ahian golok lawan golok segera terjadi. Meski berjumlah empat orang dan memiliki tubuh tinggi besar, ternyata keempat pengawal Juragan Lor Bangkalan tidak mampu menghadapi dua orang anak buah Katama yang m enyerang dengan ganas seperti kesetanan. Dalam beberapa gebrakan saja, golok di tangan keempat pengawal itu dibikin mental. Salah satu malah menjerit karena dadanya sempat tergores ujung golok Kecak. "Jangan bunuh! Ampun! Kami menyerah!" Salah seorang pengawal Juragan Lor Bangkalan jatuhkan diri berlutut sambil mengangkat dua tangan tinggi-tinggi. Tiga pengawal lainnya yang sadar tak bisa m elawan segera jatuhkan diri pula mengikuti apa yang dilakukan kawan mereka. Suara tawa bergerak meledak di tempat itu. Katama tegak dekat tandu. Tangan kiri berkacak pinggang, yang kanan menimang-nimang kantong kain berisi emas. Di tepi telaga tubuh gendut Juragan Lor Bangkalan gemetaran. Mukanya yang bundar keringatan tampak pucat. "Manusia jahat! Rampok busuk...." Katama melangkah cepat ke hadapan Juragan Lor Bangkalan. Tangan kirinya bergerak. "Plaaakk!" Satu tamparan keras mendarat di pipi sang Juragan hingga sudut bibirnya pecah dan mengucurkan darah. "Sekali lagi kau memaki, kutebas batang lehermu!" Katama yang bertangan kidal letakkan tangan kiri nya di gagang golok. "Kau tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa! Aku Katama, bergelar Hantu Plontos menganggap nyawamu tidak lebih berharga dari kentut yang keluar dari duburku!" Terkejutlah Juragan Lor Bangkalan begitu menget ahui siapa adanya orang di hadapannya itu. Nama Hantu Plontos sama angkernya dengan setan kepala tujuh. Siapa orangnya yang tidak kenal dengan gembong perampok kejam ini. "Hantu Plontos.... Kembalikan kantong kain itu. Kau boleh ambil hartaku yang lain. Cincin-cincin ini. Ambil semua. Tapi aku mohon kembalikan kantong itu..." Juragan Lor Bangkalan tanggalkan enam buah cincin emas yang dipakainya lalu melet akkannya di depan kaki Katama alias Hantu Plontos. DITIPU JURAGAN LOR BANGKALAN HANTU Plontos tertawa mengekeh. Dia membungkuk mengambil enam buah cincin permata berikat emas itu. Memperhatikannya sejenak lalu memasukkannya ke dalam saku baju hitamnya. "Sekarang serahkan kantong kain itu padaku," kata Juragan Lor Bangkalan. Katama alias Hantu Plontos menyeringai. Tiba-tiba kaki kirinya melesat ke depan, ditumpangkan di bahu kanan Juragan Lor Bangkalan. "Menurut aturanku kau harus mampus. Mengingat kau berbaik hati, memberikan enam cincin emas dan kantong berisi emas ini, aku ampuni selembar jiwamu. Nah sekarang kalau kau mau mandi, mandilah!" Kaki kiri Katama menghantam dada Juragan Lor Bangkalan tak ampun lagi si gemuk ini jatuh kecebur masuk ke dalam telaga. Katama tertawa gelak-gelak. Dia membalikkan tubuh lalu membentak pada empat pengawal yang berlutut di tanah. "Aku muak melihat kalian! Lekas minggat dari sini sebelum kusuruh anak buahku menggorok leher kalian!" Mendengar kata-kata kepala rampok itu, tak tunggu lebih lama empat orang pengawal Juragan Lor Bangkalan segera berdiri. Keempatnya lalu lari meninggalkan tempat itu secepat yang bisa mereka lakukan. Dengan susah payah Juragan bertubuh gemuk itu mencoba bangkit. Batu-batu di dasar telaga yang licin membuat kakinya terpeleset. Akibatnya dia kecebur kembali ke dalam telaga. "Anak-anak, ayo tinggalkan tempat ini. Biarkan si gendut itu kelelap!" kata Katama. Di atas pohon Kindo mengomel seorang diri. "Empat pengawal bertubuh tinggi besar itu! Ternyata m ereka banci semua! Aku kasihan pada si gendut. Perampok kepala botak itu kalau tidak diberi pelajaran tidak akan kapok. Biar aku kerjai dulu dua anak buahnya!" Di tangan kiri Kindo saat itu masih ada enam butir buah keras berujung runcing. Dia memindahkan satu ke tangan kanan. Memperhatikan ke bawah sejenak lalu melempar. Kecak menjerit. Bukan karena sakit saja tapi juga karena kaget sekali. Sebuah benda keras menghantam dan membuat luka besar di keningnya. "Kurang ajar! Siapa berani membokong!" teriaknya marah. "Eh, Kecak kenapa kau?" tanya Katama, sementara Sambradu bergegas mendekati temannya itu. Baru menindak satu langkah tiba-tiba sebuah benda entah dari mana datangnya menghantam hidungnya. Sambradu menjerit kesakitan sambil tekap hidungnya. Cuping hidung sebelah kiri perampok ini sumplung. Darah mengucur. Katama memandang berkeliling. "Ini bukan main-main," katanya dalam hati. Dia memandang ke arah Juragan Lor Bangkalan yang saat itu masih berusaha keluar dari dalam telaga. Tidak mungkin si gendut itu. Bangkit saja dia tidak m ampu! Lalu siapa yang berani berlaku kurang ajar?!" Kepala rampok ini mendongak ke atas pohon tepat Kindo bersembunyi. Tadi telinganya sempat mendengar suara berdesir dari atas pohon itu. "Jangan-jangan si pembokong bersembunyi di atas sana. Lihat saja.... Akan kubikin terjungkal. Begitu jatuh di tanah akan kuinjak-injak sampai bonyok!" Katama menghampiri pohon. Kedua tangannya mem egang batang kuat-kuat. Dia memiliki satu aji kekuatan bernama "Tangan Penggoncang Akhirat". Dengan mengerahkan kekuatan ini maka digoncangnya batang pohon itu. Terjadilah hal yang hebat. Pohon besar itu berderak-derak. Cabangnya bergoyang keras. Ranting-ranting berpatahan sedang daun dan buahnya gugur berjatuhan. Pohon itu tidak beda laksana dilanda angin topan. Di atas pohon Kindo merasa kepalanya pening. Tengkuknya dingin dan perutnya seperti terbalik-balik. "Uh...! Mau muntah rasanya!" Dia berpegang kuat-kuat pada sebuah cabang. Tidak terasa celananya sudah basah dan kedua kakinya seperti kejang. "Gila! Ilmu apa yang dimiliki si botak itu!" Goncangan semakin keras. Tubuh Kindo kini bergoyang kian kemari. Kadang-kadang berputar seperti baling-baling. Kalau dia tidak berpegangan kuat-kuat pada sebatang cabang sudah sejak tadi dia terlempar jatuh ke tanah. Bagaimanapun juga Kindo tidak dapat menahan kengerian. Dia mulai menjerit. Suara jeritannya panjang dan menggema aneh hingga di bawah sana terdengar seperti suara tiupan seruling. Katama berhenti menggoncang. "Eh, siapa sebenarnya di atas sana?!” teriak kepala rampok ini. "Manusia? Binatang atau setan...?!" "Aku tuyul!" teriak Kindo. Dalam bingungnya dia tidak sadar lagi mengucap apa saja. Mungkin terpengaruh karena melihat kepala botak plontos Katama. "Tuyul?! Hah!" Katama menyeringai. Kepala rampok ini mana mau percaya apalagi merasa takut. "Akan kulihat kau benar-benar tuyul atau apa!" teriaknya. "Bukan! Aku bukan tuyul. Tapi anak tuyul!" terdengar suara dari atas pohon. "Sebentar lagi akan kucekik lehermu!" "Tuyul atau anak tuyul atau cucu tuyul akan kulihat tampangmu!" Katama memegang batang pohon erat-erat. Di atas pohon. "Sekali lagi si botak itu menggoncang pohon aku pasti jatuh. Lebih baik aku melompat saja. Tapi tanah masih jauh. Baiknya aku merosot dulu...." lalu Kindo merosot turun sepanjang batang pohon. Beberapa kali kakinya terpukul oleh cabang-cabang yang melintang. Rasa sakit tidak diperdulikannya. Yang penting dia harus cari selamat dulu. Sampai di pertengahan pohon tiba-tiba Katama alias hantu Plontos kembali menggoncang pohon. Demikian kerasnya hingga Kindo tak sanggup lagi bertahan. Pegangannya pada cabang pohon terlepas. Anak ini terpelanting jatuh ke bawah. Dia berus aha m enggapai ki an kem ari mencari pegangan tapi tak berhasil. Di bawahnya tanah semakin dekat. Lalu dilihatnya kepala botak itu. "Biar aku mengadu untung," kata anak ini dalam hati. Sedapat yang bisa dilakukannya tubuhnya dimiringkan ke kiri. Kedua kakinya diluruskan ke bawah. "Hah...!" seru kepala rampok itu ketika melihat ada seorang anak lelaki melayang jatuh sebat sekali dari atas pohon. Seruannya terputus karena dua tumit Kindo saat itu mendarat di mukanya. Tumit kiri menghantam mata kanan "Croottt!" Mata kanan itu pecah. Darah muncrat. Jeritan Katama setinggi langit. Kepalanya serasa seperti mau pecah. Tumit kanan menyusul. "Bukkkk! Kreekk!" Kali ini yang kena sasaran adalah mulut si kepala rampok. Bibirnya pecah. Tiga giginya rontok. Kembali terdengar jeritan Katama. Tubuhnya terhuyung-huyung akhirnya jatuh menungging dekat akar pohon. Kindo sendiri juga menjerit kesakitan. Kaki kanannya berdarah akibat benturan keras dengan gigi Katama. Tubuhnya mental ke kiri, ke arah telaga. "Mati aku! Pecah kepalaku!" pekik Kindo. Sudah pasti dia jatuh di atas sebuah batu besar di tepi telaga. Kepalanya akan sampai duluan! Kedua tangannya ditutupkan ke mukanya. Ngeri! "Blukkk!" "Ngeeekkk!" "Eh...?!" Kindo meras a heran. Dia tidak jatuh di atas batu yang keras. Tapi di atas satu benda yang lembut. Lalu suara "ngeeekkk" tadi itu suara apa? Perlahan-lahan Kindo menurunkan kedua tangannya. Astaga? Dia dapatkan dirinya tertelungkup di atas perut gendut empuk Juragan Lor Bangkalan. Pantasan saja kepalanya tidak pecah dan tubuhnya tidak remuk! "Anak setan! Kau kira aku ini kasur atau bantalan!" teri ak sang Juragan marah sekali. Dijambaknya rambut Kindo. "Jur... juragan.... Maafkan aku. Aku tidak sengaja jatuh di atas tubuhmu. Aku...." "Sialan! Sudah berlaku kurang ajar masih banyak mulut lagi!" Juragan Lor Bangkalan sentakkan tangannya. Tak ampun lagi Kindo terlempar jauh dan "blukkk!" "Preett!" "Anak bangsat kurang ajar! Belum puas kau membuat diriku celaka! Sekarang kau kentuti mukaku! Kupatahkan batang lehermu!" Itu adalah suara bentakan Katama alias Hantu Plontos, waktu dilemparkan si Juragan tadi, Kindo jatuh tepat di atas tubuh Katama yang sedang megap-megap kes akitan. Celakanya dia jatuh dengan pantat lebih dulu mendarat di muka kepala rampok yang sudah remuk itu! Gilanya lagi waktu jatuh, mungkin saking takut atau juga kaget anak ini sampai keluar angin alias kentut di wajahnya si Hantu Plontos! Dapat dibayangkan bagaimana marahnya kepala rampok itu. Dua tangannya bergerak ke arah leher Kindo. Sebelum lehernya sempat di cekal Kindo buru-buru melompat dan lari. Katama bangkit berdiri. Hendak mengejar. Matanya membentur kantong kain berisi emas. Ini lebih penting, pikirnya. Segera saja disambarnya. Sesaat dia memandang ke arah telaga. Juragan Lor Bangkalan tengah berusaha keluar dari dalam tel aga sambil berpegangan pada sebuah batu besar. Kepala rampok ini tak punya nafsu l agi untuk berbuat lain kecuali tinggalkan tempat itu. Apa lagi kantong berisi emas sudah di tangannya. Selain itu di dalam saku pakai annya ada pula enam buah cincin permata berikat emas. Dengan terhuyung-huyung sambil pegangi mulutnya yang berdarah dia memberi isyarat pada dua anak buahnya yang masih kalang kabut kesakitan. Ketiga penjahat ini akhirnya tinggalkan tempat itu. Juragan Lor Bangkalan berdiri basah kuyup di tepi telaga. Kalau tadi dia kelihatan begitu ketakutan, kini dia malah tertawa mengekeh. Lalu masukkan dua jari tangannya ke dalam mulut. Satu suitan melengking. Tak lama kemudian empat orang lelaki bertubuh tinggi besar, yaitu para pengawal yang tadi melarikan diri muncul di tempat itu. "Teman-teman. Tugas kalian sudah selesai. Aku mengucapkan terima kasih. Kita berhasil menghajar para perampok itu. Juga menipu mereka. Ha... ha... ha! Kalian boleh pergi sekarang. Aku akan meneruskan perjalanan seorang diri." Empat orang yang sebelumnya bertindak sebagai para pengawal itu sama-sama mengangguk. Lalu tanpa menunggu lebih lama segera berlalu. Si gemuk memandang berkeliling. Mencari-cari. "Eh, kemana raibnya anak itu? Kalau begitu aku harus berangkat sekarang juga. Kalau sampai keduluan segala urusan bisa buyar! Tapi...." Si gendut ini merenung sejenak. "Kalau betul dia, kalau bukan…? Bagaimana aku harus membuktikan dia memang bocah yang dimaksudkan. Tanda itu! Aku harus menemukan tanda di tubuhnya itu!" *** Gudang Ebook (ebookHP.com) http://www.zheraf.net DALAM keadaan luka-luka tiga perampok itu menyusup di kegelapan malam. Di satu tempat Kecak hentikan langkahnya dan berpaling pada Katama. "Bagaimana kalau emas itu kita bagi saja sekarang?" "Betul. Aku setuju!" kata Sambradu yang cuping hidungnya sumplung. Katama alias Hantu Plontos mengomel panjang pendek. Tapi akhirnya dia mengikuti juga kemauan dua anak buahnya. "Ingat. Aku pimpinan kalian. Cidera yang kualami jauh lebih berat! Lihat, mataku ini pasti buta! Jadi pembagianku harus lebih banyak!" "Kami mengikut saja asal kau tidak terlalu serakah," menyahuti Sambradu. Katama membuka ikatan kantong kain lalu menumpahkan isinya ke tanah. Tiga mulut sama keluarkan seruan tertahan. "Apa ini?!" "Bukan emas! Katama kita tertipu!" "Bangsat!" sumpah Katama. Benda yang keluar dari kantong kain ternyata bukan emas tetapi batu-batu. Kepala rampok ini keruk saku bajunya. Enam buah cincin permata berikat emas itu dikeluarkannya. kembali dia tersentak kaget. Keenam cincin itu telah berubah menjadi cincin-cincin tembaga bermata batu murahan! "Aku lebih baik mati dari pada ditipu Juragan keparat itu. Kita kembali ke telaga! Akan kucincang si gendut itu!" Namun ketika mereka sampai di telaga di dalam hutan, hanya suara kucuran air yang menyambut. Juragan Lor Bangkalan atau siapapun tak ada lagi di tempat itu. Gudang Ebook (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net MASUK DI PURI ELANG CAHAYA matahari jatuh tepat di bangunan Puri Elang yang menjulang di puncak bukit Mega Biru. Puncak-puncak menaranya seperti hendak menyapu awan. Kindo melindungi matanya dengan tangan kiri agar tidak silau. "Wow! Bangunan tua angker. Dikelilingi pohon-pohon tinggi. Pasti usianya ratusan tahun! Aneh, mengapa Paman berwasiat menyuruhku kemari. Untuk mencari ilmu apa tidak ada tempat lain? Siapa ada di dalam sana?" Kindo terus memperhatikan. "Di puncak menara paling tinggi ada patung burung Elang. Semua jendela dan pintu depan tertutup. Apa ada penghuninya di situ? Untung aku datang siang-siang. Kalau malam hari. Uh.... Tidak kebayang ngerinya." Kindo membuang ranting kayu yang dipegangnya sej ak tadi lalu mulai menaiki tangga batu satu demi satu. Pada anak tangga ke 70 dia sampai di hadapan pintu Puri. Di bagian atas pintu tergantung sebuah papan. Di atas papan ini bertengger seekor burung Elang besar yang sudah m ati dan dikeraskan. Pada papan ada tulisan besar-besar dan berbunyi. PURI ELANG HANYA YANG PUNYA NYALI BOLEH MASUK Sesaat Kindo hanya tegak terdiam di depan pintu besar yang tertutup itu. "Bagaimana ini. Apakah aku harus mengetuk atau berteriak.... Ah, mungkin ini lebih baik!" Di samping pintu ada sebuah tali menjulur. Ujung tali ini berhubugnan dengan sebuah lonceng besar terbuat dari besi dan tergantung di bawah atap. Kindo berjingkat. Memegang ujung tali erat-erat. Lalu menariknya kuat-kuat. Lonceng besi berdent ang. Suaranya menggema ke seluruh pelosok. Di telinga Kindo terdengar aneh dan membuatnya merinding. Pada dentangan ke tiga tiba-tiba. "Braaak!" Lantai di depan pintu yang dipijak Kindo terbuka. Kindo berteriak. Cepat melompat. Tapi terlambat. Tubuhnya terjerumus ke dalam satu ruangan besar dan gelap. "Braakkk!" Lantai di depan pintu Puri yang tadi terbuka kini menutup kembali dengan suara keras. Kindo terbanting di atas lantai. Sekujur tubuhnya serasa remuk.Untuk beberapa lama kepalanya mendenyut sakit. Kindo tidak tahu apakah dia pingsan atau bagaimana. Anak ini baru sadar ketika ada suara berkereket an seperti pintu karatan dibuka. Lalu ada nyala terang. Susah payah Kindo memutar kepalanya. Satu sosok tubuh luar biasa besar berdiri di ambang sebuah pintu. Di tangannya dia memegang sebuah jambangan kuningan di mana terletak sebuah lilin. "Orang besar! Siapa kau! Apa datang untuk menolongku?" Kindo bertanya seraya mencoba bangkit. Orang itu tidak menjawab. Dia melangkah ke tengah ruangan dan meletakkan lilin di atas sebuah meja kayu penuh debu. Meja ini dikelilingi oleh empat buah kursi besar yang sangat lapuk dan sudah hancur dimakan bubuk. Kindo memandang berkeliling. Ruangan di mana dia berada adalah ruangan batu berwarna merah. Di lantai bertebaran tumpukan jerami kering. "Jerami itu yang menolongku! Kalau tidak waktu jatuh tadi pasti sudah remuk tulang belulangku, hancur kepalaku!" Sehabis meletakkan lilin di atas meja, orang bertubuh besar itu melangkah ke pintu. "Hai! Tunggu dulu!" seru Kindo. "Branggg!" Satu-satunya pintu besi di ruangan itu tertutup dengan suara menggelegar. Orang besar tadi lenyap. "Siapa dia. Wajahnya tak sempat kulihat! Akan diapakannya aku di tempat celaka ini?!" Tiba-tiba terdengar suara menggema. Yang bicara tak kelihatan. "Wasiat Pamanmu wasiatku juga! Nyawamu hanya seumur nyala lilin.Kalau lilin itu padam maut akan datang menjemput!" Tengkuk Kindo menjadi dingin. "Aku tidak punya salah! Mengapa aku harus menerima hukuman seperti ini?!," "Tidak ada yang menghukum. Tidak ada yang dihukum! Semua adalah kehendak wasiat!" jawab suara tadi. "Siapa kau? Coba unjukkan diri! Keluarkan aku dari ruangan ini!" "Anak kecil. Lebih baik kau perhatikan nyala lilin. Jangan membuang waktu percuma. Mulailah mencari jalan keluar! Ingat umurmu terbatas sampai sepanj ang nyala lilin! Kalau lilin mati dan kau tidak mampu keluar dari ruangan, berarti kau juga akan mati!" "Hai! Tunggu dulu...!" Tak ada jawaban. Kindo membantingkan kakinya ke lantai batu lalu duduk terperangah. "Kal au aku ikut nasihat Kanti, aku tak akan mengalami nasib buruk dan mengerikan seperti ini!" Kindo memandang ke arah lilin di atas meja. Perlahan-lahan dia berdiri. Dengan lilin di tangan dia memeriksa seluruh dinding dan lantai ruangan. Lama dia berdiri di depan pintu besar. Dicobanya membuka, menendang dan menggedor. Pintu besi itu tidak bergeming sedikit pun. Sekujur tubuhnya sudah bas ah oleh keringat. Tiba-tiba sudut matanya melihat sesuatu bergerak di lantai sebelah kiri. Kindo berpaling. Tikus! Binatang ini segera lari dan lenyap di sudut kanan. "Kalau ada tikus pasti ada lobang! Ada lobang berarti ada jalan keluar!" Kindo lalu memeriksa sudut ruangan sebelah kanan. Mengangkat tumpukan jerami kering. Benar saja. Di situ ada sebuah lobang sebesar pergelangan kaki. "Lobang ini pasti berhubungan dengan udara luar." Kindo berpikir sejenak. Lalu dihampirinya sebuah kursi. Dipilihnya kaki kursi yang masih cukup kuat. Dengan patahan kaki kursi ini dia mulai membobok lobang itu. Membuatnya lebih besar. Terengah-engah, mandi keringat akhirnya Kindo berhasil membuat sebuah lobang besar. Dia merangkak masuk sambil terus menggali. Dengan kaki kursi, dengan tangan telanjang hingga jari-jarinya luka. Masuk ke dalam lobang sejauh lima langkah kaki kursi menumbuk sebuah benda keras. "Batu! Buntu!" Pada saat itu terdengar suara mencicit banyak sekali. Puluhan tikus muncul dari kiri kanan. Melintas kedua tangannya. Melompat ke atas punggungnya bahkan ada yang menggigit pinggulnya. Kindo menjerit jijik dan kesakitan. Cepat-cepat bersurut dan keluar dari lobang. Ketika dia berada di ruangan batu itu kembali, nyala api telah membakar setengah bagian dari lilin. Kindo keluarkan keringat dingin! "Apa lagi yang harus kulakukan? Rupanya aku akan mati konyol di tempat ini!" Kindo rebahkan diri di lantai ruangan. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Kedua matanya dipejamkan. "Perhatian! Aku harus memusatkan perhatian! Pikiran! Aku harus memus atkan pikiran! Gila! Aku tak bisa melakukannya!" Kindo membuka kedua matanya kembali. Menatap ke langit-langit ruangan. "Eh, apa itu?" ujarnya seraya bangkit. Untuk pertama kalinya dia m enyadari kalau bagian atas ruangan batu itu berbentuk kubah bulat. Di tengahnya tergantung sebuah rantai. Pada ujung rantai ini terdapat lampu hias kuno bercabang tiga. Masing-masing cabang dihias dengan untaian rantai kecil berwarna putih. Kindo berdiri. Dia tegak tepat di bawah kubah itu. Lalu perhatiannya dibagi pada lilin di lantai. Saat itu hampir dua pertiga batang lilin telah musnah dimakan api. Anak ini jadi tegang. Dia kembali memperhatikan kubah dan lampu gantung itu. "Mungkin bagian atas kubah itu terbuat dari kayu tipis. Kalau aku bisa menjebolnya...." Sambil mengukur jarak antara lantai dengan ujung terendah lampu hias kuno Kindo naik ke atas meja. Meja ini mengeluarkan suara berkereket. Empat kaki meja bergetar. Papannya bergoyang. "Tidak bisa begini. Memasang kuda-kuda di atas meja bisa membuatnya ambruk! Kalau meja dijadikan tumpuan pelentur...?" Kindo melompat turun. Dia melangkah mundur m enjauhi meja sampai punggungnya membentur dinding batu. Dengan matanya dia mengukur jarak antara tempat dia berdiri dengan meja, lalu meja dengan lampu kuno yang tergantung. "Pusatkan perhatian! Pusatkan pikiran! Kau harus bisa Kindo! Harus!" Anak ini pejamkan matanya. Begitu dibuka kembali dia berteriak keras. "Ciaaattt!" Kindo berlari ke arah meja. Lima langkah dari meja dia membuat lompatan. Tubuhnya melayang. Kaki kanan menjejak ujung meja. Sambil memusatkan kekuatan pada kaki kanannya sebagai daya tumpu anak ini lenturkan badannya. Kindo seperti melejit ke atas. Kedua tangannya diulurkan lurus-lurus. "Hup! Dapat!" teriak anak ini girang begitu kedua tangannya berhasil menangkap salah satu dari rantai putih di ujung cabang lampu hias kuno. Tiba-tiba terdengar suara berkereketan disusul dengan m eluncur turunnya rantai besi besar di tengah kubah. "Aduh! Aku jatuh!" Pada saat yang sama terdengar suara lonceng berdentang bertalu-talu. Itu adalah lonceng di atas atap Puri Elang! Kindo meluncur jatuh ke bawah dan terhempas di atas meja bobrok. Meja hancur berantakan. Anak ini mengerang kesakitan. Dia cepat menggulingkan diri ke dinding kiri, pada saat itu tiba-tiba terdengar suara mendesis panjang. "Wow!" Mata Kindo terbelalak. Lantai di hadapannya tiba-tiba terbuka. Pecahan meja dan kursi-kursi lapuk yang ada di ruangan itu berjatuhan ke bawah. Rupanya antara rant ai lampu hias kuno dengan lantai ruangan ada saling hubung. Rantai itu dapat dimisalkan sebagai picu penarik dan pembuka pintu rahasia! Kindo memandang ke bawah. Dia melihat satu tangga batu. Tepat di bawah tangga batu itu ada sebuah sungai kecil. Tanpa menunggu lebih lama Kindo segera melompat, menuruni tangga dengan cepat. Tepat dia mencapai anak tangga terbawah terdengar suara berdesis panjang. Lantai di atas kepalanya kembali menutup!! "Gila! Bagaimana bisa ada lantai batu bisa membuka dan menutup!" kata anak itu dengan nafas mengengah-engah. Di hadapannya ada sebuah sungai kecil berair jernih. Sungai ini dangkal sekali hingga kelihatan jelas dasarnya. Beberapa langkah di depannya ada sebuah perahu lengkap dengan pendayung. "Sungai di bawah Puri. Berair jernih. Dangkal. Lalu apa perlunya perahu ini?" Dia mengikuti aliran sungai kecil itu ke arah kejauhan. Sungai aneh ini ternyata memang cukup panjang. Kindo berpikir sejenak. "Perahu kecil ini disediakan pasti untuk mengarungi sungai kecil. Tapi ke mana tujuannya? Berjalan kaki kurasa lebih cepat." Walau hatinya tertarik hendak naik dan mengayuh perahu itu akhirnya Kindo memutuskan untuk jalan kaki saja. Sepuluh langkah Kindo berjalan tiba-tiba di belakangnya terdengar letusan keras. "Waw!" Kindo sampai terlompat saking kagetnya. Memandang ke belakang dilihatnya perahu tadi telah hancur berkeping-keping. Kindo ternganga dengan muka pucat. "Kalau aku masuk ke dalam perahu itu tadi, pasti tubuhku sudah medel tak karuan!" Dengan hati-hati Kindo melangkah sepanj ang tepi sungai kecil. Cukup lama. Hingga akhirnya langkahnya terhalang oleh sebuah tembok batu menjulang tinggi. Pada bagian bawah tembok ada sebuah lobang tempat mengalirnya air sungai ke arah yang tidak terlihat. Lalu di sebelah kanan ada sebuah tangga besi. Kindo memandang berkeliling. Dia tak mungkin meloloskan diri lewat lobang sempit aliran sungai. Jadi satu-satunya jalan yang ditempuh adalah menaiki tangga besi. Penuh waspada anak ini mulai menaiki tangga besi itu. Bukan mustahil tangga ini bisa meledak pula dan menghancur luluhkan tubuhnya. Ternyata dia sampai di anak tangga teratas dengan selamat. Gudang Ebook (ebookHP.com) http://www.zheraf.net SANG GURU DI hadapan Kindo kini terbentang sebuah taman. Dia tidak tahu apakah dia berada di luar Puri Elang atau masih di dalamnya. Yang lebih mencengangkannya ialah di tengah taman itu tampak duduk seorang lelaki bertubuh gemuk luar biasa di atas sebuah kursi goyang terbuat dari besi. Orang ini memakai kopiah kupluk. Baik baju dan celananya kelihatan kesempitan hingga dada dan perutnya menyembul keluar. Lain dari itu baju yang melekat di tubuhnya dipakai terbalik. Bagian depan yang berkancing justru ada di sebelah punggung! Di bahu kanan si gendut bertengger seekor burung Elang besar. Lalu di depan kursi goyang di mana si gendut itu duduk enak-enakan terletak sebuah meja penuh dengan berbagai macam makanan serta buah-buahan. Si gendut asyik makan dengan lahapnya. Untuk pertama kalinya Kindo s adar kalau perutnya sudah keroncongan alias lapar sejak lama. "Eh, manusia gentong raksasa itu! Mengapa sekarang tahu-tahu ada di sini. Berpakaian lucu dan pakai peci s egala! Aku tak bisa lupa. Dia adalah Juragan Lor Bangkalan yang dirampok di hutan tadi malam!" Kindo melangkah m aju. Tiba-tiba si gendut menjentikkan jari tangannya. Burung Elang di bahu kanannya mengembangkan sayap, menaikkan kepala lalu melesat ke arah Kindo, mematuk ke arah kepala. Kejut Kindo bukan main. Dia cepat jatuhkan diri ke tanah. Patukan Burung Elang besar itu lewat di atas kepal anya. Gagal serangan pert ama burung itu berputar lalu membalik. Siap menyerang lagi. Kindo yang baru saja bangkit berdiri terpaksa menjatuhkan diri kembali. Tak urung punggung pakaiannya masih sempat disambar cakaran burung Elang. "Breeett!" Baju anak itu robek besar di bagian punggung. Si gemuk di atas kursi besi terlonjak dari kursinya. Dua mat anya yang besar semakin mendelik ketika melihat sesuatu di kulit punggung Kindo. "Tanda biru kehijauan di punggung anak itu! Astaga! Jadi memang dia orangnya!" Untuk ketiga kalinya Elang datang menyerang. Dalam puncak ketakutannya Kindo melihat sebuah kurungan besar terbuat dari besi. Pintu kurungan itu cukup besar. Cukup bisa meloloskan tubuhnya mencari selamat. Karenanya tanpa menunggu lebih lama Kindo segera lari ke arah kurungan besi, menyusup lolos lewat pintunya lalu menguncinya sekali. Burung Elang terbang berputar-putar di at as sangkar yang ternyata adalah sangkarnya sendiri. Binatang ini tiada hentinya mengeluarkan suara keras. Mungkin marah karena serangannya gagal atau marah karena sangkarnya kini dimasuki orang. Kesal berputar-putar burung Elang itu hinggap di atas sangkar besi. Dia coba mematuk Kindo. "Ihhh!" Kindo mengkerutkan tubuhnya ke sudut kurungan. Burung Elang itu mematuk lagi. Tapi jeruji-jeruji sangkar terlalu sempit. Kepalanya tak bisa lolos. Sebaliknya di dalam sangkar, Kindo begitu tahu burung Elang itu tak bakal dapat mematuk atau mencakarnya tidak henti-hentinya berteri ak, mengejek binatang itu dan mencibir berulang kali. Di atas kursi goyang besi si gendut tertawa bergelak. Kindo jadi mengomel. Dia berteriak. "Juragan Lor Bangkalan! Aku tidak bermusuhan denganmu! Mengapa menyuruh burung Elang menyerangku?!" "Ya.... Tak ada gunanya meneruskan serangan. Tanda di punggungnya sudah kelihatan," kata si gendut dalam hati. Lalu dijentikkannya jari-jari tangannya. Burung Elang besar itu mengembangkan sayap lalu terbang dan hinggap kembali di bahu kanan tuannya itu. "Aku pemilik Puri Elang. Kau datang tidak diundang!" jawab si gendut sambil mengambil sebutir buah dan menyant apnya dengan lahap. "Atau kau datang untuk minta upah. Karena menyangka telah berbuat jasa besar tadi malam menolongku?!" "Aku tidak kenal dan tidak mengharap segala macam upah. Aku datang sesuai wasiat Pamanku!" jawab Kindo ketus. "Aku tak kenal Pamanmu!" "Kenal atau tidak tapi jelas ada seseorang menunggu kedatanganku di Puri ini. Buktinya tadi ada seseorang di tempat ini berkata bahwa wasiat Pamanku adalah wasiatnya juga!" "Di Puri ini hanya aku sendiri! Kau dusta ada orang yang bicara seperti katamu itu!" "Kalau memang hanya kau seorang yang ada di Puri ini, berarti kaulah orangnya yang tadi bicara tent ang wasiat itu! Jadi kaulah orang yang harus kutemui!" Si gendut terdiam. "Bocah ini ternyata cerdik juga," katanya dalam hati. Lalu dia tertawa gelak-gelak hingga dadanya yang gembrot dan perutnya yang melembung berguncang-guncang. "Juragan Lor Bangkalan, aku mau keluar dari dalam kurungan bau ini. Jangan suruh burungmu menyerangku lagi!" "Kau boleh keluar. Tapi ada satu hal perlu kujelaskan. Aku bukan Juragan Lor Bangkalan." Kindo membuka pintu kurungan besi lalu keluar. Setelah yakin burung Elang itu tidak akan menyerangnya, anak ini maju tiga langkah, menatap orang gemuk di kursi goyang itu sesaat lalu berkata. "Ingatanku masih terang. Malam tadi kau berada di hutan. Kau adalah pedagang kaya yang dirampok itu." "Aku hanya menjal ankan peran sebagai Juragan Lor Bangkalan. Untuk memberi pelajaran pada penjahat itu. Sekaligus untuk menguji dirimu!" "Menguji diriku? Apa maksudmu? Siapa kau sebenarnya?" tanya Kindo. "Namaku Bujala Tasaki." "Nama aneh. Orangnya juga aneh!" kata Kindo dalam hati. "Bujala Tasaki singkatan dari Bujang Gila Tapak Sakti..." menerangkan si gendut. "Oooo orang gila si gentong ini rupanya. Tapak Sakti. Tapi kulihat tangannya biasa-bi asa saja..." kata Kindo lagi dalam hati. "Aku adalah penerima wasiat yang disebutkan Pamanmu dalam pesannya. Malam di hutan itu kau telah melakukan sesuatu yang hebat. Membuat aku yakin bahwa pewarisku sudah muncul." "Aku tidak mengerti. Kau begitu saja membiarkan s ekantong emas miiikmu diambil penjahat berkepala botak itu. Malah kau tambah dengan enam cincin emas-permata...." Si gendut yang mengaku bernama Bujala Tasaki tertawa lebar. "Isi kantong itu bukan emas. Tapi batu. Enam cincin yang kuberikan juga palsu!" Kindo jadi melongo. "Jadi apakah aku harus memanggilmu Guru?" "Ah, aku tidak suka segala macam perad atan! Lagi pula kau belum jadi muridku. Banyak yang harus dilakukan. Pengujian belum sel esai," jawab si gendut pula. "Panggil saja aku Bujala atau Tasaki." "Kalau maumu begitu, baiklah," kata Kindo. "Tadi kau bilang menguji diriku. Menguji bagaimana? Lalu kau juga bilang pengujian belum selesai. Apa maksudmu?" "Kakekku gelisah. Sampai saat ini aku masih belum punya seorang murid pun. Belum punya pewaris ilmu kepandaian. Satu kali dia bermimpi bertemu Pamanmu. Lalu berwasiat agar aku mengambilmu jadi murid. Kalau tidak karena wasiat itu belum tentu aku mau m engambilmu jadi murid...." "Sebabnya?" tanya Kindo. "Kau kelihatan tolol, terlalu banyak omong dan jelek rupa!" Kindo hendak marah tapi dia hanya menggigit bibir saja. Dalam hati dia berkata. "Si gentong ini berdusta. Kalau dia tidak suka padaku tadi-tadi tentu dia sudah mengusirku." "Hemmm.... Aku datang tidak mengemis. Kalau kau tak suka diriku, aku pun rasanya ada ganjal an jadi muridmu. Aku mau pergi saj a. Tolong tunjukkan jalan ke luar." "Eh, anak ini sungguhan atau hendak mengujiku?!" pikir Bujala Tasaki. "Hai! Tunggu dulu!" si gendut memanggil. Kindo hentikan langkahnya. "Kau harus tahu. Ujian itu tidak selalu berbentuk kekuatan nyata atau kekerasan. Ujian bisa dilakukan lewat kata-kata, melalui ucapan. Ujian paling sulit justru ketika kita harus menggunakan kekuatan pikiran dan kekuatan hati. Kekuatan pikiran berarti mempergunakan otak dengan segala hati. Kekuatan pikiran berarti mempergunakan otak dengan segala kecerdikan. Kekuatan hati berarti memantapkan ketabahan dalam diri. Malam tadi kau melakukan satu hal yang hebat. Kecerdikan dan ketabahan membuat kau bisa mempermainkan sambil menghajar tiga perampok itu. Di dalam Puri ini kau berhasil keluar dari dalam ruangan batu merah. Itu berkat kau mempergunakan pikiran dan hati. Lalu kau bertindak tepat tidak naik perahu di sungai yang dangkal! Kau lulus dari beberapa ujian. Kau juga pergunakan akal sewaktu diserang oleh Elangmu, masuk ke dalam kurungan besi. Tapi masih ada puluhan bahkan ratusan ujian yang akan kau temui dalam hidup ini. Satu di antaranya akan kuperlihatkan padamu. Mendekatlah kemari!" Kindo maju. Bujala Tasaki letakkan tangan kanannya di at as meja. Siku ditekankan ke bawah, lengan ditegakkan lurus-lurus. "Kewajibanmu menjatuhkan tanganku hingga menempel di meja! Jangan membuang waktu. Mulailah!" Sepasang mata Kindo memandang tangan yang besar kokoh itu tak berkesip. "Besar amat!" kata anak ini dalam hati. Dengan tangan kanannya diusap tangan si gendut. Lalu dia mulai memijit-mijit. "Anak tolol! Aku tidak suruh kau jadi tukang pijit...!" Belum habis hardikan Tasaki tangan Kindo melesat mencekal pergelangan lalu membantingkannya kuat-kuat ke atas meja. Namun tangan itu tidak bergeming sedikit pun. Si gendut tertawa mengekeh. Burung Elang di bahu kanannya mengepak-ngepakkan sayap dan keluarkan suara berisik seolah mengejek Kindo. "Kau tidak mampu?!" ujar si gendut. "Siapa bilang?!" tukas Kindo. Dipegangnya lagi tangan itu erat-erat lalu dengan sekuat tenaga didorongnya. Masih tidak bergerak. Kindo berjingkat lalu bergelayutan di iengan itu. Lengan yang digelantungi hanya bergerak sedikit saja sedang Kindo sudah ters engal-sengal dan mandi keringat. Tasaki kembali tertawa gel ak-gel ak. Kindo perhatikan dada dan perut yang berguncang-guncang itu. Lalu tiba-tiba saj a terngiang olehnya ucapan Bujala Tasaki tadi. Ujian paling sulit justru ketika kita menggunakan kekuatan pikiran dan kekuatan hati.... Mempergunakan otak dan segala kecerdikan...." "Aku tahu sekarang rahasianya!" kata Kindo dalam hati. Matanya melirik ke pinggang Bujang Gila Tapak Sakti yang ikut berguncang-guncang karena tertawa. Dengan jari telunjuknya Kindo mengorek pinggang si gendut. "Eh...?!" tawa Tasaki tersendat. Kindo mengorek lagi lebih dalam dan lebih keras. "Eittt!" Tubuh si gendut terangkat sedikit dari kursi. Sudah merasa geli dia rupanya. Kini Kindo mengorek pinggang berlemak itu keras-keras dan habis-habisan. Tasaki terpekik-pekik dan m enggeliat kian kemari. Ia lupa pada lengannya yang dijadikan batu uji an. Pada saat si gemuk ini lupa diri karena kegelian Kindo segera pergunakan kedua tangannya untuk mencekal lengan itu dan membantingkannya ke atas meja. "Braaaakkk!" "Aku berhasil!" teriak Kindo. Bujala Tasaki baru sadar kalau dirinya sudah kena tipu. Tapi diam-diam dia gembira m elihat kecerdikan anak itu. Makadia pun tertawa gelak-gelak. "Dia mulai meresapi jalan pikiranku." Kindo melirik ke atas meja. Air liurnya m engambang di tenggorokan. "Tasaki, kau tidak akan menawarkan makanan dan buah-buahan itu padaku? Perutku lapar. Dari tadi malam belum makan...." "Memangnya kau suka? Ambil saj a kalau doyan!" jawab Bujala Tasaki seolah tak acuh. Kindo segera mengambil sepotong paha ayam. Begitu digeragotnya serta merta diludahkannya kembali. Matanya memandang melotot pada paha ayam yang dipegangnya. "Apa ini?!” katanya. Si gendut tertawa meledak. "Itulah kalau terlalu rakus hingga punya mata tak lagi bisa melihat! Ini pelajaran baik untukmu Kindo! Apa yang dilihat dengan mata belum tentu sama dengan kenyat aan. Semua makanan dan buah-buahan ini palsu. Terbuat dari lilin!" Mata Kindo mendelik. Potongan paha ayam yang dipegangnya ditelitinya lalu dicampakkan ke atas meja. “Tapi... tadi aku lihat sendiri kau makan dengan lahap!" "Siapa bilang aku makan. Lihat saja ke bawah meja!" Kindo menjenguk ke bawah meja. Benar saja. Di situ dia melihat campakan potongan daging, ikan, buah-buahan. Semua dari lilin! Si gendut menggeliat. Setelah menguap lebar-lebar dia berdiri dari kursi. "Saatnya kau kupertemukan dengan Kakekku. Mari...." Kindo melangkah mengikuti Tasaki. Si gemuk ini membawanya ke bagian Puri yang berbentuk bent eng tinggi. Meski berat tubuhnya lebih dari 200 kati namun Bujala Tasaki melangkah dengan lincah dan cepat hingga berkali-kali Kindo tertinggal di belakang. Begitu juga ketika menaiki tangga yang menuju ke puncak menara. Si gendut ini enak saja berlari-lari kecil. Dia sampai di puncak menara lebih dulu sementara Kindo masih mengengah-engah di belakangnya. Puncak menara yang berbentuk benteng itu ternyata tidak memiliki atap. Berhubungan langsung dengan udara terbuka. Di sini angin bertiup kencang dan mengeluarkan suara aneh. Kindo bersandar ke dinding menara, berpegangan kuat-kuat pada sebuah rantai besi yang tertanam di tembok benteng. Dia belum sempat memperhatikan berkekeliling untuk melihat pemandangan karena kedua matanya langsung saja terpacak pada sosok tubuh seorang tua yang duduk bersila di lantai menara. Orang ini memiliki rambut, kumis dan janggut putih yang sangat panjang dan menjel a menjadi satu menutupi sekujur tubuhnya. "Aku tak bisa menduga apakah orang tua ini mengenakan pakaian atau tidak. Tubuhnya tertutup rambut dan janggut. Angin begini keras. Tapi aneh rambut dan janggut serta kumisnya sama sekali tidak bergerak barang sedikit punl Aku sendiri kalau tidak berpegangan pada rantai besi ini mungkin sudah diterbangkan angin! Dan... astaga! Apa yang di kepalanya itu!" Di atas kepala si orang tua yang duduk bersila memejamkan mata seperti bersemedi ada sebuah sarang burung. Di dalam sarang tiga ekor anak burung menci cit-cicit. Tak lama kemudian seekor burung besar hinggap di sarang itu. Dari paruhnya dijatuhkannya sebutir buah berwarna merah. "Induknya..." desis Kindo. "Orang tua itu, berapa lama dia sudah bersemadi di at as menara ini hingga burung sempat membuat sarang dan bertelur di atas kepalanya! Gilanya dia sama sekali tidak terusik!" Bujala Tasaki berpaling pada Kindo yang tegak tercengang-cengang. "Ini satu pelajaran lagi bagimu Kindo. Tidak ada yang lebih nikmat dan bermanfaat dari pada kemampuan untuk menyatu dengan alam." "Ini Kakekmu yang kau katakan itu?" tanya Kindo. Bujala Tasaki mengangguk. "Dengan masuk ke dalam alam, berbaur jadi satu kau bisa menemukan satu kekuatan yang tidak ada taranya. Tuhan menciptakan alam. Siapa saja yang mampu menyatukan diri dengan alam akan memiliki satu kekuatan luar biasa...." Dalam hatinya Kindo berkata. "Aku sih memang kagum, tapi apa yang dimaksudkan si gentong ini aku tidak mengerti." "Saatnya untuk pergi," kata Bujala Tasaki. "Kau sudah ketemu Kakekku. Dia sedang melihatmu." Kindo tertawa. "Bagaimana kau tahu dia senang melihatku. Sejak tadi Kakekmu itu terus-terusan memejamkan matanya." "Kalau dia senang, dia akan berdiam diri sehening batu." "Kakekmu aneh...." "Dunia memang penuh dengan keanehan. Dan banyak orang yang mati mengenaskan dalam keanehan itu..." kata Tasaki pula. "Lagi-lagi aku tidak mengerti apa maksud ucapan guruku si gentong ini!" kata Kindo dalam hati. Sebelum menuruni tangga mengikuti Bujang Gila Tapak Sakti, Kindo merasakan ada sesuatu. Dia berpaling ke jurusan si kakek. Astaga. Dilihatnya orang tua itu tersenyum dan mengedipkan mata kiri padanya. "Hai, ada apa?" tanya Bujala Tasaki. "Tidak ada apa-apa," jawab Kindo. "Kau memang betul Tasaki. Dunia ini penuh keanehan!" Gudang Ebook (ebookHP.com) http://www.zheraf.net YANG TERBURUK DAN TERHEBAT TURUN dari menara, Kindo dibawa memasuki sebuah ruangan yang diterangi sinar redup berwarna biru. Ruangan ini dinginnya bukan alang kepalang hingga Kindo meras akan gigi-giginya bergemeletakan. Di tengah ruangan tergantung sebuah tirai lebar berwarna kuning. Pada tirai itu terpampang serangkaian tulisan berwarna kuning. "Kindo, coba kau baca keras-keras tulisan itu," kata Tasaki. Kindo menatap ke depan. Lalu membaca dengan suara lantang. AKU SATRIA MUDA PERKASA SIAP MENGARUNGI BAHAYA TABAH DALAM SEGALA DERITA IMAN DALAM SEGALA SENGSARA AKU PENDEKAR MUDA PERKASA TIADA HARI TANPA TANTANGAN BERKELANA MEMBELA KEBENARAN SIAP TEGAKKAN KEADILAN "Bacaanmu bagus. Suaramu jelas dan lantang!" memuji Tasaki. "Tapi membaca tanpa meresapi tak ada artinya. Sekarang dengar aku akan menyanyikan delapan bait tulisan itu." Si gendut busungkan dadanya. Menarik nafas panj ang. Burung Elang di bahu kanannya ikut menegakkan leher. Lalu terdengarlah suaranya menyanyi. Syair yang dinyanyikannya adalah apa yang tertulis di atas tirai lebar. Kindo bertepuk tangan begitu Bujala Tasaki selesai menyanyi. "Kalau tidak mendengar sendiri, aku tidak percaya suaramu bagus sekali," kata Kindo pula. Si gemuk cuma senyum-senyum. "Ingat nyanyian dan syair itu baik-baik Kindo. Sewaktu-waktu kau harus bisa menyanyikannya sendiri." Dengan tangan kirinya diputarnya sebuah pasak yang terletak dekat pintu ruangan. Terdengar suara desingan halus. Perlahan-lahan tirai lebar itu tersingkap ke kiri. Bersamaan dengan itu ruangan menjadi terang benderang. Ada lima buah batu besar hitam terletak di hadapan Kindo dan Bujala Tasaki. Di atas setiap batu terdapat sebuah senjata. Masing-masing senjata kecuali satu mengeluarkan cahaya tanda senjata-senjata itu merupakan senjata mustika. "Kindo, kau lihat lima macam senjata di atas lima batu hitam. Akan kusebutkan satu persatu. Paling kiri adalah keris bernama Sunan Abdi Tunggul Giri. Siapa yang memegangnya akan kebal segala macam senjata. Di batu kedua sebilah tombak bermata tiga. Itulah Tri Raga Dewa. Dengan tombak ini orang bisa membunuh lawan dari jarak jauh sekalipun. Di batu ke tiga kau lihat sebilah pedang mengeluarkan sinar putih. Senjata mustika ini berasal dari daratan India. Sangat ringan dan siapa saja yang memegang hulunya langsung dapat memainkan satu ilmu pedang yang hebat...." Bujang Gila Tapak Sakti melirik sebentar pada Kindo. Anak ini kelihatan mendengarkan semua keterangannya dengan seksama dan matanya tak berkesip memandang pada senjata yang sedang dijelaskan. "Yang terletak di atas batu ke empat sebatang rotan lentur. Panjangnya dua kali panjang tangan orang dewasa. Saking lenturnya bisa diikatkan ke kepala. Atau digelungkan di pinggang. Konon senjata ini pernah menjadi milik seorang gadis cantik. Entah sebab apa gadis itu bunuh diri dengan mencebur ke dalam laut. Lalu berubah menjadi Peri. Dibanding dengan tiga senjata terdahulu yang ke lima ini sangat sederhana bahkan buruk sekali bentuknya. Yang terakhir sebilah golok emas bernama Golok Naga Emas. Disebut begitu karena hulunya ada ukiran kepala naga. Senjata ini berasal dari daratan Tiongkok. Siapa saja memilikinya dia akan jadi seorang pendekar besar tak ada tandingan. Kau lihat saja sinarnya yang kuning angker. Ini bukan senjata sembarangan. Dua Pangeran di Tiongkok pernah berperang habis-habisan memperebutkan golok emas ini." "Selain kehebatannya," kata Kindo menyambung ucapan Tasaki. "Kalau lagi tak punya uang, golok emas itu bisa dijual dijadikan uang. "Si gemuk tertawa terguncang-guncang sampai keluar air mata. "Kindo," katanya kemudian. Dari balik pakaiannya dikeluarkannya sebuah kipas kertas. Lalu dia mulai mengipasi wajah dan tubuhnya yang basah oleh keringat. Kindo jadi terheran-heran. Dia sendiri sudah menggigil di ruangan yang sangat dingin itu. Sebaliknya Tasaki malah keringatan dan berkipas-kipas kepanasan! "Kindo, Kakekku berpesan agar kau di bawa ke sini lalu memilih satu dari lima senjata itu. Aku tidak akan membujukmu memilih yang mana. Kau harus menjatuhkan pilihan sendiri. Lalu mengambilnya. Tentukan pilihanmu dengan cepat. Kita tidak punya waktu lama." Kindo menatap lima senjata itu satu persatu. Setelah hatinya tetap maka dia pun berkata. "Aku memiiih rotan buruk itu!" Bujala Tasaki terkejut. "Kau tidak keliru atau aku salah mendengar! Coba kau ucapkan sekali lagi!" "Aku memilih rotan di batu ke empat," Kindo mempertegas. "Kau tidak menyesal menjatuhkan pilihan pada rotan itu?" "Tidak...." "Kau masih punya kesempatan untuk merubah putusan, Kindo." "Pilihanku tidak berubah," jawab Kindo pula. "Sayang sekali.... Sayang sekali," kata Bujang Gila Tapak Sakti sambil geleng-gelengkan kepala. "Kalau itu putusanmu sangat kusesalkan. Kuberi kesempatan sekali lagi untuk merubahnya...." "Tasaki, tadi kau bilang kau tidak akan membujukku dalam menjatuhkan pilihan. Sekarang kenapa kau seperti memaksa?" Si gemuk terdiam tapi sunggingkan senyum. "Kalau begitu kau berjalanlah ke arah batu ke empat. Lurus-lurus. Lalu ambil senjata itu." Kindo melangkah dengan tenang. Tangannya agak gemetar. Juga sewaktu menyentuh rotan itu. Setelah memegangnya dia memutar tubuh dan melangkah kembali ke tempat semula. "Kindo, aku ingin bertanya. Mengapa kau memilih rotan buruk ini. Bukan salah satu dari empat senjata lain yang hebat-hebat." Berkata Tasaki begitu Kindo sampai di hadapannya. "Alasanku sederhana saja. Keris emas itu tak pantas bagiku. Kemana aku pergi pasti ada orang yang akan mengincar. Tombak dan pedang atau golok terlalu besar buatku. Lagi pula bukankah kau mengajari bahwa yang terlihat oleh mata telanjang itu belum tentu apa nyatanya?" Bujala Tasaki tertawa gelak-gelak. Lalu ada satu suara tertawa lagi meng-gema di kejauhan. "Heh... siapa yang tertawa itu?" tanya Kindo. "Siapa lagi kalau bukan Kakekku di puncak menara," jawab Tasaki Yang membuat Kindo jadi melongo. "Ketahuilah Kindo, kau memilih benda yang paling tepat sebagai senjatamu. Rotan itu bukan rotan biasa. Bukan hanya sekedar benda lentur yang bisa digelungkan di kepala atau diikatkan ke pinggang. Serahkan padaku. Kau akan lihat kehebatannya!" Kindo menyerahkan rotan yang dipegangnya pada Tasaki. Si gemuk memegang rotan itu di tangan kanannya lalu mengangkatnya sejajar kepala. "Ular!" teriak Tasaki. Tangannya yang memegang rotan digoyangkan. Blaaaarrrr! Rotan buruk berubah menjadi seekor ular hitam. Kindo sampai tersurut saking kagetnya. Elang di bahu si gemuk mengembangkan sayap dan keluarkan suara keras. "Pedang!” teriak Tasaki lagi. Blaarrr! Ular berubah jadi pedang yang m engeluarkan cahaya putih menyilaukan. "Golok!" teriak si gendut. Tangannya digoyangkan. Blaaaarrrr! Pedang berubah menjadi golok besar berwarna hitam. "Kembali ke asal!” seru Tasaki. Pedang hitam lenyap. Yang tergenggam di tangannya kini adalah rotan buruk tadi. Lalu benda ini diserahkannya pada Kindo kembali. Anak lelaki ini menerima rotan itu masih ternganga-nganga saking herannya. "Jadi... jadi sungguhan senjata ini untukku?" tanyanya. "Kau sudah memilihnya. Kau berjodoh dengan senjata itu. Gelungkan ke pinggangmu. Jadikan sebagai sabuk. Selama benda itu melekat di badanmu orang lain tidak dapat melihatnya. Berarti kau harus menjaganya baik-baik. Tapi kau belum boleh mempergunakannya sebelum selesai latihan dan ujian silat luar serta tenaga dalam. Lalu kalau tidak dalam keadaan terpaksa sekali, jangan kau lepaskan rotan itu dari tubuhmu." "Aku sangat berterima kasih padamu Tasaki. Bagaimana aku harus membalas semua kebaikanmu ini?" Si gendut tertawa bergelak. "Memangnya kau punya apa mau membalas segala? Ada beberapa hal harus kau ingat Kindo. Senjata itu selain harus kau jaga baik-baik, juga jangan sekali-kali dipergunakan untuk kejahatan. Jangan sekali-kali dikeluarkan kalau tidak dalam keadaan sangat terdesak. Jangan sekali-sekali merasa sombong dan merasa paling jago setelah memilikinya. Ingat selalu ujar-ujar yang mengatakan di atas langit ada langit lagi...." "Aku akan ingat hal itu baik-baik Tasaki. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih padamu," kata Kindo seraya melilitkan rotan lentur itu ke pinggangnya. "Aku merasa lega kini Kindo. Sebagian dari wasiat Pamanmu melalui Kakekku sudah kulaksanakan. Sekarang coba putar tubuhmu dan lihat kembali ke arah empat batu itu...." Kindo memutar tubuhnya. Dia terkejut ketika melihat empat senjata yang ada di atas empat batu hitam telah berubah. Keris mustika sakti Sunan Abdi Tunggul Giri telah menjadi sebuah pisau butut. Di batu ke dua tombak Tri Raga Dewa kini hanya merupakan sepotong besi bengkok. Lalu pedang putih yang katanya berasal dari India itu lenyap berganti dengan sebilah parang butut. Terakhir golok Naga Emas berubah menjadi sebatang golok buruk yang biasa dipakai untuk pembelah kayu atau kelapa! Kindo berpaling pada Bujala Tasaki. Ke dua orang ini sama-sama tersenyum. Si gendut usap mukanya yang keringatan. "Tempat ini terlalu panas untukku. Bajuku sudah basah kuyup oleh keringat. Sebaiknya kita lekas-lekas pergi dari sini." Kindo merasa heran dan hendak mengatakan bahwa dia justru menggigil kedinginan. Namun Tasaki sudah meninggalkan tempat itu sambil mengelus-elus punggung burung Elang yang bertengger di bahunya. "Raden, kau kembalilah ke tempatmu. Ingat baik-baik. Mulai saat ini kau punya tiga orang tuan. kakekku, aku dan anak ini." Elang besar itu keluarkan suara lirih lalu mengulurkan kepalanya ke arah Kindo. Menyangka hendak dipatuk Kindo cepat mundur. "Tak usah takut. Raden hanya ingin berbaik-baik denganmu," kata Tasaki. "Ooohh.... Jadi namanya Raden..." kata Kindo seraya mengulurkan tangannya dan m engusap kepala burung Elang itu. Sekali lagi binatang itu mengeluarkan suara lirih lalu merentang kedua sayapnya dan terbang meninggalkan tempat itu. "Burung itu bukan binatang sembarangan. Jika kau membutuhkan bantuannya kau hanya memejamkan mata membayangkan dirinya. Lalu berucap. Raden datanglah...." "Lagi-lagi keanehan yang tidak kumengerti..." kata Kindo perlahan. "Sekarang saatnya kita pergi. Aku ingin buru-buru melatih dan mengujimu. Lagi pula panas sekali di sini. Pakaianku sudah kuyup oleh keringat!" Ketika si gemuk itu melangkah, Kindo pun mengikuti dari belakang sambil mempererat gelungan rotan di pinggangnya. "Aneh," kata anak ini dalam hati. "Begitu rotan ini kujadikan sabuk, tubuhku terasa enteng. Pendengaran dan penglihatanku jadi lebih terang...." Puri Elang di puncak bukit Mega Biru kembali tenggelam dalam kesunyian. Seolah bangunan tua itu tidak ada penghuninya. Segala keanehan yang tersembunyi di dalamnya tak pernah diketahui orang. Gudang Ebook (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net HANTU PLONTOS MUNCUL LAGI Bujala Tasaki berjalan seenaknya di sebelah depan sambil berkipas-kipas. Kindo mengikuti dari belakang. "Aneh..." kata anak ini dalam hati. "Dia berjalan melenggang perlahan. Langkahnya pendek-pendek saja. Tapi kukejar tetap saja aku tidak bisa sampai di sebelahnya!" Di satu tempat jalan kecil berbatu yang mereka tempuh bercabang dua. Tasaki membelok ke kanan. "Tasaki!" panggil Kindo dari belakang. "Kalau aku tidak salah itu jalan menuju hutan angker. Mengapa membelok ke sana?" "Apa kau lupa pada perutmu yang sudah lama tidak diisi? Aku juga sudah tak tahan lapar. Dalam hutan itu banyak buah-buah segar yang bisa kita santap. Syukur-syukur ada burung hutan yang bisa kita panggang...." "Memang sih perutku sudah keroncongan. Tapi kita bisa mencari makanan di tempat lain. Aku kawatir harimau besar itu masih berkeliaran di sana....." "Kau takut?" tanya Tasaki. "Tidak. Masakan bersamamu aku merasa takut...." "Eh, kita tidak pergi sama-sama." Kindo jadi heran. "Tidak sama-sama bagai-mana maksudmu?" "Aku sangat letih. Tak sanggup lagi berjalan..." kata si gendut Tasaki. Dalam hatinya Kindo berkata. "Aku tidak percaya. Mungkin dia berdusta." Lalu anak ini bertanya. "Jadi bagaimana Tasaki?" "Kau pergi saja sendirian. Bergerak lurus-lurus ke arah kanan sampai kau menemui kawasan yang banyak pohon buah-buahan. Aku menunggu di simpang jalan ini...." "Tasaki, kurasa lebih baik kita...." "Ini perintah. Jangan kau berani membangkang!" bentak Tasaki. Kedua matanya yang belo tampak bertambah besar. "Ah, kalau marah matanya tambah belo," ujar Kindo dalam hati. "Kalau memang perintah, aku mau bilang apa!" menyahut Kindo sambil mulutnya dipencongkan tanda dia kurang senang atau merasa was–was masuk sendirian ke dalam rimba belantara. Sesuai ucapan Tasaki, Kindo masuk ke dalam hutan lurus ke arah kanan. "Rasanya aku sudah jauh masuk ke dalam hutan. Mana pohon-pohon bebuahan yang dikatakan si gentong itu?" kata Kindo sambil berhenti lalu memandang berkeliling. "Mungkin masih di sebelah sana. Biar aku jalan lagi." Anak ini meneruskan perjalanan hingga akhirnya sampai di satu bagian hutan yang ketinggian. Di sini dilihatnya ada beberapa pohon buah-buahan sedang sarat buahnya. Antara lain jambu kelutuk besar, limau dan cempedak hutan. "Hemmm.... Bau cempedak itu sedap amat," kata Kindo sambil menghirup dalam-dalam. Dia tidak tahu kalau bau sedap buah cempedak yang menebar bukan buah yang masih tergantung di pohon, melainkan buah yang sudah dibelah dan tengah disantap oleh tiga orang lelaki berpakaian hitam bertampang seram dibalik serumpunan semak belukar. "Akan kupanjat pohon cempedak itu. Tasaki pasti senang makan cempedak," kata Kindo seraya melangkah mendekati pohon cempedak yang paling rendah dan berbuah sarat. Namun belum sempat dia meneruskan langkahnya tiba-tiba dari balik semak belukar di sebelah kiri melompat tiga orang berpakai an serba hitam. "Mati aku!” keluh Kindo begitu dia mengenali siapa adanya ketiga orang itu. Yang pertama bukan lain adalah Katama alias Hantu Plontos, kepala rampok ganas yang beberapa hari lalu menghadang rombongan Juragan Lor Bangkalan alias Bujala Tasaki yang melakukan penyamaran. Mata kanannya yang pecah akibat hantaman tumit Kindo tampak dibalut. Lalu mulutnya kelihatan bengkak jontor. Ketika dia menyeringai tiga giginya tak kelihatan lagi. Rontok, juga akibat tendangan Kindo sewaktu melompat dari atas pohon. "Ini dia tuyul keparat yang membuat mataku buta dan mulutku pecah!" Katama menggertak sambil ulurkan kedua tangannya. "Ya Tuhan, dia pasti membunuhku!" kata Kindo ngeri. "Biar aku lebih dulu merobek hidungnya!" berkata anak buah Hantu Plontos bernama Sambradu. Cuping hidungnya sebelah kiri kelihatan sumbing gara-gara dilempar Kindo dengan buah keras dan runcing. Tidak heran kalau dia juga merasa dendam pada anak itu. Kindo semakin ketakutan. "Aku Kecak juga harus kebagian!" kata anak buah yang satu lagi. "Lihat keningku sampai berlubang akibat lemparan anak jahanam ini!" "Oh celaka! Aku benar-benar mati sekarang! Ini gara-gara si gentong itu! Mengapa dia menyuruh aku masuk ke sini. Padahal sudah kubilang hutan ini berbahaya!" Dalam takutnya Kindo menyalahi si gendut Tasaki. "Kalau begitu cepat lampiaskan dendam kalian. Tapi ingat! Lehernya aku yang bakal mematahkan!" kata Katama pula dengan tampang garang sambil gosok-gosok kedua telapak tangannya satu sama lain. Kindo merasa lututnya goyah. Jantungnya seperti mau copot begitu Sambradu dan Kecak melangkah ke arahnya. Tiba-tiba dalam hatinya muncul dorongan untuk menantang rasa takut itu. "Seorang ksatria berpantang takut! Rasa takut berarti kalah sebelum bertarung! Ingat nyanyianmu. Aku satri muda perkasa. Siap mengarungi bahaya…. Aku pendekar muda perkasa. Tiada hari tanpa bahaya.... Kau punya ilmu silat warisan Ayah dan Pamanmu! Mengapa harus takut. Keluarkan kepandaian yang kau miliki! Lihat luka-luka yang mereka alami! Dulu kau bisa menghajar mereka, mengapa sekarang tidak?!" Suara hati itu mendorong keberanian Kindo. Setelah mundur lagi dua langkah tiba-tiba dia membungkuk mengambil dua buah batu sebesar kepalan. Tangannya diacungkan ke arah Sambradu. "Berani kau mendekat kubikin sumplung cuping hidupmu satu lagi!" Kindo juga mengacungkan tangannya ke arah Kecak. "Akan kubuat bolong jidatmu kalau berani maju!" Baik Sambradu maupun Kecak sama-sama menyeringai. "Kecebong ingusan! Berani bermulut besar mengancamku!" kertak Sambradu. Sekali lompat saja dia sampai di hadapan Kindo. Tangan kanannya meluncur ke atas kepala anak ini untuk menjambak rambutnya. KEMATIAN DI DEPAN MATA Kindo cepat merunduk. Berkat rotan sakti yang melingkar di pinggangnya gerakan anak ini menjadi ringan dan cepat. Apalagi dia memang sudah memiliki kepandaian silat dasar yang pernah diajarkan Ayah serta Pamannya. Dia berhasil menghindarkan kepalanya dari jambakan. Namun ada beberapa rambutnya yang sempat tersambar hingga Kindo mengerenyit menahan sakit. Marah serangannya tidak mengena, Sambradu tendangkan kaki kanannya. "Rasakan olehmu!" teriak penjahat ini. "Wuuutttt!" Kaki kanan Sambradu menderu ke perut Kindo. Kalau tendangan ini mengena pasti Kindo akan cidera berat bahkan bisa-bisa menemui ajal! "Waduh!" seru Kindo sambil jatuhkan diri. "Hampir amblas perutku!" Tendangan Sambradu lewat hanya seujung kuku di depan perutnya. Kindo cepat gulingkan diri di tanah. Ketika Sambradu mengejar, anak ini lemparkan batu di tangan kanannya. "Bukkkk!" Batu melayang deras ke arah muka Sambradu. "Celaka! Bisa ditangkisnya!" kata Kindo ketika lemparan yang seharusnya bisa mengenai muka Sambradu ditangkis dengan lengan. Sambil menahan rasa sakit di lengan dengan beringas penjahat ini menyerang Kindo. Serangannya ganas. Berupa injakan ke dada Kindo yang masih terguling di tanah. "Bukkkkkk!" "Luput!" pekik Kindo ketika injakan kaki Sambradu hanya menghantam tanah. Anak ini cepat berdiri. Tengkuknya merinding ketika menyaksikan bagaimana tanah yang tadi diinjak Sambradu amblas sampai semata kaki. "Hampir ringsak dadaku!" kata Kindo keluarkan keringat dingin. "Anak setan! Apa kau bisa lolos terus-terusan dari tanganku!" bentak Sambradu lalu kembali mengejar Kindo. Sementara itu diam-diam Kecak datang dari samping. "Gerakannya sesaat tertahan. Matanya berputar ke samping. Pasti ada sesuatu...." Kindo membatin sewaktu dilihatnya gerakan kaki penjahat itu sesaat terhenti sedang kedua matanya melirik ke kiri. Kindo berpaling ke samping. Justru saat itu Kecak menyergapnya dengan jotosan tangan kanan yang keras. "Remuk kepalaku!" seru Kindo dalam hati. Dia melompat ke belakang. "Wuutttt!" Tinju Kecak menghunjam udara kosong seujung jari di depan hidung Kindo. "Selamat.... Hampir tanggal hidungku dibuatnya!" Walau rasa takut tetap menyelimuti dirinya namun semangat dan rasa percaya dirinya semakin besar. Akan tetapi, tidak terlihat oleh anak ini Kecak ulurkan kaki kanannya mencegal kedua kaki Kindo. "Bukkkk!" Tak ampun lagi Kindo jatuh bergedebuk ke tanah. "Uhhhh..." Kindo mengeluh. Tulang punggungnya serasa remuk. Tapi dia hanya mengeluh pendek tak mau berteriak. Selagi kesakitan dan tergeletak di tanah seperti itu tahu-tahu Sambradu sudah ada di depannya. Penjahat ini membungkuk lalu menjambak rambutnya. Sekali sentak saja Kindo terangkat ke atas. Anak ini coba menendang perut dan dada Sambradu. Tapi tamparan penjahat itu menghajar mukanya lebih dahulu. "Plaaakkk!" Kindo merasa seolah-olah kepalanya meledak. Sakitnya tamparan penjahat itu terasa mulai dari ubun-ubun sampai ke kaki. Digigitnya bibirnya. Dia tak mau menjerit. Hanya keluhan tak tert ahan keluar dari mulutnya terus-menerus. Pipi kirinya merah membengkak. Bibirnya luka. Dari mulutnya mengucur darah. "Rasakan sekarang!" kata Sambradu dan masih terus menjambak rambut Kindo. Dalam hati dia merasa heran melihat Kindo sama sekali tidak menjerit atau m emekik kesakitan. "Bocah sok jagoan! Rasakan sekali lagi tamparanku ini!" Lalu dengan sekuat tenaga Sam bradu ayunkan tangan kanannya untuk menampar lagi. Tiba-tiba Kecak berteriak. "Sambradu! Jangan kau bantai sendirian! Serahkan anak itu padaku!" Sambradu menyentakkan tangannya yang menjambak rambut Kindo. Anak ini terpelanting ke arah Kecak. Penjahat yang satu ini langsung menyambutnya dengan kepalan tangan yang diarahkan ke kening Kindo. Tak ada kesempatan untuk mengelak. Satu-satunya cara menyelamatkan kepal anya dari serangan itu adalah dengan membelintangkan lengannya di depan mukanya. Menangkis. "Bukkk!" "Auuuuuwwww!" Kali ini Kindo tak bisa menahan sakit tanpa berteriak. Pukulan Kecak memang dapat ditangkis dengan lengan kanan. Tapi lengan itu sakit bukan main. Terasa sampai ke tulang. "Celaka.... Jangan-jangan tanganku patah!" rintih Kindo. Sambil meringis menahan sakit dan terhuyung-huyung anak ini jauhkan diri dari lawannya. Dia coba menggerakkan tangan kanannya. "Aduhhh!" Sakit bukan main. "Aku tak bisa menggerakkan tangan!" Di hadapannya Kecak menyeringai. "Tangan kananmu sudah kupatahkan hah! Sekarang giliran yang kiri!" kata penjahat ini. Kindo mundur terus. Saat itu di tangan kirinya dia m asih memegang sebuah batu sebesar kepalan. "Kalau kulempar pasti dia bisa mengelak," kata Kindo dalam hati sambil memutar otak. Saat itu Katama alias Hantu Plontos rupanya sudah tidak sabaran untuk turun tangan sendiri menghajar Kindo. Dia berteriak. "Kecak! Bagianmu sudah cukup! Biar aku yang menyelesaikan anak keparat itu!" "Wah, si jahat satu ini pasti membunuhku! Pasti!" membatin Kindo. "Apa yang harus kulakukan? Tasaki bilang seorang pendekar harus mempergunakan kekuatan pikiran dan kecerdikan otak! Hemmm...." Kindo memeras otaknya. Tiba-tiba anak ini berteriak pada Kecak. "Lihat serangan batu!" Kecak bertolak pinggang sambil menyeringai penuh ejek. "Kau boleh melemparku sampai seratus kali! Ayo lakukan! Lempar sekuatmu!" tantang si penjahat. Kindo genggam batu di tangan kirinya kuat-kuat lalu dilemparkan dengan sepenuh tenaga. "Wuuuttttt....!" Batu melayang di udara pada ketinggian di bawah pinggang. Kecak tetap bertolak pinggang dan terus menyeringai. Tapi dia jadi melengak ketika ternyata Kindo tidak melemparkan batu itu ke arahnya. "Eh, apa yang dilakukan anak sialan ini! Siapa yang dilemparnya?!" Kecak dan juga Sambradu berpaling mengikuti arah batu. Saat itulah terdengar jeritan Katama. Kepala penjahat ini sama sekali tidak menduga kalau Kindo ternyata melemparkan batu ke arahnya. Karena tidak menyangka bahwa dirinyalah yang bakal jadi sasaran lemparan batu, walau berkepandaian tinggi namun Katama tak sempat mengelak. "Bukkk!" Tahu-tahu batu besar itu sudah menghantam bagian gawat di bawah perut antara kedua pangkal pahanya! "Kena!" seru Kindo. Kat ama berjingkrak dan menjerit setinggi langit. Tubuhnya kemudian terhempas ke tanah. Seperti anak kecil dia meraung berguling-guling. "Pecah kantongku! Mati.... Mati aku!" "Anak jahanam! Kuhancurkan kepalamu!" teriak Kecak. Sekali lompat saja dia sampai di hadapan Kindo. Anak ini cepat melarikan diri. Namun dari belakang Sambradu mencekal leher dan menarik tangan kanannya yang sakit. Kindo mengeluh tinggi. Saat itu pula dari depan Kecak datang mengayunkan tinju kanannya ke kepala Kindo. Anak ini tak bisa berkelit, tak mampu menangkis. Apa lagi berontak melepaskan diri dari cekalan Sambradu. Mukanya seputih kain kafan. Hendak berteriakpun tak ada gunanya. Dia seperti pasrah menerima kematiannya. Sesaat lagi pukulan Kecak akan merengkahkan kepala Kindo tiba-tiba "Sssttttt...!" Ada angin bersiur disertai berkelebatnya sebuah benda panjang yang menghalangi dan menahan gerak pukulan Kecak, bahkan membuat tangannya terpental ke atas dan dia sendiri terpekik kesakitan sambil mundur beberapa langkah. Benda panjang itu berkelebat lagi. Kindo merasa siuran angin di belakangnya. Lalu terdengar jeritan Sambradu. Cekalannya pada leher dan tangan Kindo terlepas. Kindo cepat menjauh selamatkan diri lalu berpaling untuk melihat apa yang sebenarnya telah terjadi. Kenapa kedua penjahat itu urung membunuhnya bahkan menjerit kesakitan! KIRIN Di hadapan Kindo saat itu berdiri seorang pemuda berpakaian serba hitam. Rambutnya hitam lurus sepanjang bahu. Keningnya diikat dengan kain kecil berwarna hitam. Dia tegak memandang tak berkesip ke arah Kecak dan Sambradu. Kedua kakinya terkembang dalam kuda-kuda silat yang kokoh. Tangan kirinya memegang sebatang tongkat panjang yang ujungnya bercagak dua. Dengan sikap keren tongkat kayu ini dimelintangkannya di depan dada. Baik Kindo maupun tiga penjahat yang ada di situ sama sekali tidak mengenal siapa adanya pemuda ini. "Gagah sekali dia," memuji Kindo dalam hati. "Apa betul dia yang barusan menolongku? Kalau betul, wah! Pasti dia memiliki ilmu tongkat yang hebat!" "Pemuda keparat! Siapa kau?!" bentak Kecak sambil usap-usap lengannya yang kelihatan bengkak akibat pukulan tongkat. Pemuda itu melirik pada Sambradu yang saat itu pegangi lehernya. Kindo melihat leher penjahat satu ini bengkak membiru. Rupanya pemuda berpakaian serba hitam itu tadi menghajarnya di tenggorokan. Si pemuda lalu berpaling pada Kecak. Dengan tenang dia berkata. "Dalam dunia persilatan, mengeroyok lawan adalah tindakan pengecut! Mengeroyok seorang anak kecil lebih pengecut lagi! Memalukan! Hanya orang-orang jahat suka melakukan hal seperti itu. Kalian bertiga pasti bukan orang baik-baik!" Saat itu dengan terbungkuk-bungkuk. Katama alias Hantu Plontos mendatangi dengan rahang menggembung, mata melotot tanda marah. "Ada satu orang lagi minta mati di tempat ini!" kata Katama penuh berang. "Apa kepentinganmu mencampuri urusan kami?!" Pemuda berpakaian hitam melirik sebentar pada Katama. Lalu tanpa memandang pada kepala penjahat ini dia menjawab. "Aku memang tidak punya urusan dengan kalian!" "Bedebah!" teriak Sambradu. "Lalu kenapa kau menyerangku dan kawanku?!" "Aku hanya tidak suka melihat ketidakadilan dan kejahatan berlangsung di muka bumi ini!" "Hebat sekali!" teriak Kecak. "Dia berlagak seperti tokoh raja diraja dunia persilatan!" "Sreetttt!" Kecak cabut golok besar di pinggangnya. Namun sebelum senjata itu sempat keluar dari sarungnya, tanpa menoleh sedikitpun pemuda berpakaian serba hitam gerakkan tangan kanannya. "Wuuuuuttttt!" Tongkat berkelebat menderu ke arah Kecak. "Bukkkk!" "Ahhh....!" "Claappp!” Penjahat ini mengeluh tinggi. Ujung tongkat yang bercagak menghantam punggung tangannya, mendorong golok serta merta masuk ke dalam sarungnya kembali!" "Sekali lagi ada yang berani m enghunus senjata akan kuberi pelajaran lebih keras!" kata pemuda yang memegang tongkat. "Luar biasa! Gerakannya cepat sekali!" kata Kindo penuh kagum. Katama dan Sambradu keluarkan suara seperti menggereng. Kedua orang ini saling memberikan isyarat. Lalu serempak menerjang ke arah pemuda berpakaian hitam. Dua kali terdengar suara berdesing. "Awas! Mereka menyerang dengan golok!" teriak Kindo memperingatkan begitu dilihatnya Katama dan Sambradu lancarkan serangan golok. Di saat yang sama Kecak kembali cabut senjatanya. Dia segera hendak bergabung dengan dua temannya itu. Tapi Katama membentak. "Kau jaga jangan sampai anak satu ini melarikan diri! Pemuda sok jago ini biar aku dan Sambradu yang mengurusnya!" Mendengar teriakan Katama itu Kecak segera memutar serangannya ke arah Kindo. Dalam keadaan tangan sebelah kanan cidera dan tanpa senjata tentu saja tak mungkin bagi Kindo menghadapi penjahat satu ini. Apalagi Kecak menyerangnya seperti orang kesetanan. Goiok di tangannya memapas deras kian kemari! "Lari! Tak ada jalan lain! Aku harus lari menyelamatkan diri!" kata Kindo. Dia melompat ke balik serumpunan semak belukar. Kecak menerjang melompati semak belukar itu. "Wuuuutttt!" Goloknya memapas di atas kepala Kindo. "Mati aku!" Kindo merasa Nyawanya sudah terbang ketika mata golok memapas putus ujung rambutnya. Sambil pegangi kepalanya dia berguling kebelakang sebatang pohon. Kecak kembali mengejar. Goloknya menderu lagi.Kali ini ke arah kaki Kindo. "Craaakkkk!" Golok menghantam bagian bawah pohon. Kindo cepat melompat. Dia ingat pada sabuk rotan sakti yang melingkar di pinggangnya. "Ah, tidak bisa! Tasaki melarangku mempergunakan senjata ini sebelum aku dilatih dan diujinya. Lalu bagaimana aku harus menyelamatkan diri?" Saat itulah dia menyadari kalau pohon besar itu mempunyai banyak akar gantung. Anak ini lantas pergunakan kepandaiannya memanjat. Digapainya akar gantung paling panjang lalu seperti seekor monyet dia memanjat ke atas. "Kau mau lari kemana! Kau kira aku tak bisa mengejar!" teriak Kecak. Golok disarungkannya lalu dia bergelantungan pada akar pohon dan mulai memanjat. Namun tubuhnya terlalu berat. "Desss!" Akar gantung putus sewaktu Kecak mencapai ketinggian setengah pohon. Tak ampun lagi tubuhnya jatuh bergedebuk ke tanah. Penjahat ini memaki panjang pendek sambil pegangi tulang pantatnya yang sakit bukan main. Di atas pohon walau sudah selamat Kindo tetap saja merasa tidak tenang. Terlebih ketika dilihatnya pemuda berpakaian hitam itu terkurung rapat oleh serangan golok Katama dan Sambradu. "Aku harus ganti menolongnya! Kasihan dia! Tapi aku harus menolong bagaimana?!" Traaak... traaaakkkk... traaakkkk... traakkk!" Kayu bercagak di tangan pemuda berpakaian hitam menghantam badan golok dua lawannya sampai dua kali berturut-turut. "Ah, tak bisa kubuat mental!" Si pemuda terkejut. Tangkisan dan sekaligus serangan untuk memukul lepas senjata lawan tak berhasil. Si pemuda kini arahkan serangan tongkatnya ke bagi an badan atau kepala lawan. Gerakannya lincah dan sebat sekali. Tongkat bercagaknya bergulung-gulung memukul, menusuk, mengemplang. Katama dan Sambradu jadi dibuat kalang-kabut. Yang paling berbahaya adalah serangan Katama. Karena kidal dia mem egang goloknya di tangan kiri. Serangannya aneh dan sering tidak terduga. Seperti mengenjot bumi pemuda berpakaian hitam kerahkan seluruh kepandaiannya. "Traaakkk!" Sambradu mengeluh tinggi. Golok di tangannya mencelat mental. Jari-jarinya tampak mengucurkan darah. Dia tegak terbungkuk-bungkuk m enahan sakit. Pemuda bertongkat kini pusatkan s erangannya pada satu-s atunya lawan yaitu Katama. Namun pada saat yang sama tiba-tiba saja Kecak tinggalkan pohon besar di atas mana Kindo berada dan menyerbu m asuk ke dalam kalangan pertempuran m embantu Katama. Sesaat kemudian Sambradu walaupun dal am keadaan terluka jari-jari tangannya, memungut goloknya yang tercampak di tanah lalu bergabung membantu dua kawannya. Jurus demi jurus perkelahian tiga lawan satu, tiga bilah golok lawan sebatang tongkat kayu itu semakin hebat dan ganas. Dari atas pohon Kindo hampir tak dapat lagi melihat jelas tubuh pemuda berbaju hitam. Pemuda ini laksana lenyap, berubah menjadi bayang-bayang. Putaran tongkatnya menderu-deru membentuk lingkaran sebat. Namun bagaimanapun hebatnya ilmu tongkat si pemuda, digempur habis-habisan oleh tiga pengeroyok seperti itu lambat-laun pertahanannya mulai goyah. Dalam satu gebrakan hebat si pemuda berhasil menyarangkan ujung tongkatnya ke batang leher Kecak. Dua lengannya yang memegang tongkat bergerak memuntir. "Naik!" teriak si pemuda. Tubuh besar penjahat itu terangkat sampai satu jengkal dari permukaan tanah. "Jatuh!" teriak pemuda berbaju hitam lagi. Tubuh Kecak miring ke samping lalu.... Bukkkk! Penjahat itu terbanting ke tanah. Kepalanya membentur akar pohon yang menonjol dan keras. Kecak mengeluh tinggi. Tergelimpang pingsan sementara darah mengucur dari luka di kepalanya. Walau dapat merobohkan satu dari tiga lawannya tapi keadaan pemuda berpakaian hitam itu sendiri kini terancam. Sambradu berhasil memasukkan satu tendangan ke pinggulnya. Selagi dia terhuyung, dari depan Katama ayunkan goloknya dengan ganas. Sebenarnya serangan ini sanggup ditangkis dengan tongkatnya oleh si pemuda. Namun saat itu Katama justru telah mengeluarkan kesaktiannya yang bernama "Tangan Penggoncang Akhirat." Tangan kanannya menggeletar oleh aji kesaktian yang dirapalnya. Ketika dihant amkan ke arah si pemuda, terdengar suara menggelegar. "Akhhhh...!" Pemuda berpakai an hitam berseru tegang. Tongkat kayunya terlepas. Tubuhnya mencelat mental lalu jatuh di tanah. Dia berusaha bangun dengan cepat. Namun pukul an sakti Katama telah membuat sekujur tubuhnya laksana remuk. Dia hanya mampumerangkak lalu tergelimpang ke tanah kembali. Saat itu pula Katama menyergap dengan goloknya. Senjata di tangan kiri kepala penjahat ini menderu ke arah batok kepal a si pemuda. Sesaat lagi kepala itu akan terbelah mengerikan tiba-tiba. Blukkkkk! Katama menggereng marah. Sebuah benda jatuh dengan keras tepat di punggungnya hingga tubuhnya terhuyung ke depan. Saat itu pula dua tangan meskipun kecil melingkar mencekik lehernya hingga dia jadi megap-megap sulit bernafas! "Jahanam!" maki Katama marah besar. Bahunya digoyangkan. Tubuhnya direndahkan dan tangan kanannya menjambak ke belakang. Tak ampun lagi tubuh Kindo yang barusan mendekam di punggung dan mencekik lehernya melayang jatuh ke bawah, terhempas di tanah di samping pemuda berpakaian hitam! "Sekarang terima kematian kalian berdua!" hardik Katama. "Kau mampus duluan monyet sialan!" Golok di tangan kepala penjahat itu membacok ke arah kepala Kindo. Saat itu Kindo sama sekali dalam keadaan tak berdaya. Bantingan Katama membuat dia terhenyak nanar tak mampu bergerak. Dia melihat bagaimana golok besar itu menderu ke arah kepalanya tanpa dia bisa berbuat sesuatu. Kindo coba palingkan kepal anya. Tak ada artinya. "Craaasss!" Bau harum menyeruak di tempat itu. Golok besar di tangan kiri Katama tenggelam ke dalam sebuah benda bulat panjang yang terbelah dua. Pemuda berpakaian hitam pergunakan kesempatan untuk berguling. Tak lupa dia menarik lengan Kindo hingga anak ini ikut bergulingan bersamanya. "Kurang ajar! Siapa yang punya pekerjaan ini?! " teriak Katama sementara Sambradu tertegak dalam heran dan kaget. Sebuah cempedak hutan besar harum tergel etak di tanah dalam keadaan terbelah. Benda inilah tadi yang entah dari mana datangnya memintas bacokan golok Katama hingga terbelah dua! Sepasang mata Katama membeliak. Beberapa langkah di hadapannya, dekat semak belukar seorang lelaki bertubuh gemuk luar biasa duduk menjelepok di tanah sambil menyantap cempedak hutan dengan lahapnya. Orang ini mengenakan kopiah kupluk, mengenakan celana pangsi hitam dan mem akai baju kekecilan. Enak saja dia menyantap cempedak itu seolah-olah hanya dia sendirian di tempat itu dan tidak tahu apa yang barusan terjadi di situ! "Kurang ajar! Sambradu! Jagal leher si gendut itu dengan golokmu!" teriak Katama memerintah. Tanpa banyak cerita Sambradu melompat dengan golok terhunus. Namun belum sempat kedua kakinya menjejak t anah, kelihatan si gendut membuka topi hitam di atas kepalanya. Acuh tak acuh topi ini dikipaskan ke mukanya yang keringatan seperti orang kepanasan. "Wuuuutttt!" Serangkum angin menderu, menghantam dengan telak dada Sambradu. Penjahat ini berteriak keras lalu jatuh melingkar di tanah. Dia mengerang kesakitan sambil pegangi dadanya. Dari mulutnya mengucur darah. Kedua m atanya kelihatan berkedap-kedip. Nafasnya megap-megap lalu sosok tubuhnya diam. Pingsan! "Ahhhhhh! Ada orang hebat rupanya di sini!" kata Katama alias Hantu Plontos seraya mel angkah dengan golok digenggam erat di tangan kiri. "Katama..." si gendut menegur tanpa mengangkat kepalanya atau memandang pada Katama. "Apa pelajaran tempo hari masih belum membuat kau kapok? Lihat apa yang terjadi dengan dua anak buahmu! Masih tidak mau sadar?!" "Aku baru mau kapok dan sadar kalau kau sudah menerima ini!" jawab Katama setengah berteriak. Goloknya berkelebat! Si gendut kipaskan lagi kopiah bututnya. Gerakannya ini dilakukan tanpa menoleh sedikitpun ke arah Katama. Tapi apa yang terjadi kemudian membuat Kindo dan pemuda berpakaian hitam jadi terkesima kagum. "Dessss...!" "Trangggg!" Golok besar di tangan Katama patah dua dan terpental ke udara. Penjahat itu mengerang panjang. Tangan kirinya kelihatan melintir ke belakang tak bisa digerakkan lagi. Si gemuk melahap lagi dua butir cempedak hutan lalu melompat. Dia melangkah ke hadapan Katama. "Ini pelajaran dan peringatan terakhir bagimu. Jika sekali lagi aku menemuimu berbuat macam-macam, jangan harap ada pengampunan! Pergi dari sini! Bawa dua anak buahmu itu!" Dengan susah payah Katama menyadarkan dua anak buahnya yang pingsan. Lalu dalam keadaan babak-belur ketiganya tinggalkan tempat itu. Setelah ketiga orang itu pergi Kindo cepat-cepat mendatangi si gendut dan membungkuk dalam-dalam. "Tasaki, terima kasih. Kau telah menyel amatkan nyawaku!" kata Kindo. Lalu dia berpaling pada pemuda berpakai an serba hitam. Kembali dia membungkuk. "Aku juga berterima kasih padamu Kakak. Kau juga telah menyelamatkan diriku tadi...." Pemuda berpakaian hitam balas mem bungkuk sambil melintangkan tongkat kayunya di depan dada. "Terima kasih sama-sama," katanya. "Kalau tadi kau tidak nekad m elompati kepala penjahat itu dari atas pohon, nyawakupun tak akan tertolong!" Habis berkata begitu si pemuda memutar tubuhnya ke arah Bujala Tasaki dan membungkuk. "Terima kasih saya untukmu...." "Kakak.... Ilmu tongkatmu hebat sekali!" tiba-tiba Kindo berkata. Si pemuda tersenyum kecil. Sambil geleng-gelengkan kepala dia berkata. "Aku masih banyak harus belajar. Masih banyak..." "Namaku Kindo. Kalau aku boleh tahu siapakah nama Kakak ini?" "Aku Kirin...." "Kirin.... Hemmm.... Kalau aku boleh tahu lagi di mana kau belajar ilmu tongkat itu? Dengan siapa....?" "Aku tak bisa menjawab pertanyaanmu itu Kindo...." Pemuda bernama Kirin ini lalu membungkuk pada Tasaki dan Kindo. "Aku harus pergi sekarang.... Sekali lagi terima kasih. Aku tak bakal melupakan budi baik kalian." "Kirin kau mau kemana?!" seru Kindo. "Wuuuttt!" Kirin putar tongkat kayunya. Kindo hanya melihat satu lingkaran dan bayangan hitam. Lalu Kirinpun lenyap dari tempat itu. "Ilmu tongkatnya luar biasa. Gerakannya cepat sekali. Ah, ingin sekali aku belajar ilmu tongkat itu padanya..." Ucapan Kindo terhenti. Anak ini meringis kesakitan ketika satu jeweran mampir di telinga kirinya. "Tasaki! Aduh....! Kenapa kau jewer kupingku!" Si gendut Tasaki menyeringai. "Bagus ya?!” "Eh, apa yang bagus...?!" tanya Kindo. "Kau kusuruh masuk hutan mencari buah-buahan. Eh malah berbuat macam-macam di tempat ini...." "Tunggu dulu! Aku akan ceritakan padamu asal kejadiannya..." kata Kindo. "Siapa sudi dengarkan ceritamu!" jawab Bujala Tasaki. Jewerannya dilepaskan. Lalu bajunya yang kekecilan dibukanya. Di dekat tempat itu ada sebuah batu besar. Batu ini dibungkusnya dengan baju itu lalu dia berpaling pada Kindo yang masih mengusap-usap kupingnya yang kesakitan. "Kita keluar dari hutan ini! Kau angkat batu itu! Tapi awas! Kau tidak boleh memanggulnya! Harus ditenteng. Harus mempergunakan tangan kanan! Laksanakan perintah!" "Tapi Tasaki...." "Tidak ada tapi-tapian!" bentak Tasaki. "Tangan kananku cidera berat Tasaki!" "Mana coba kulihat!" Tasaki memegang tangan kanan Kindo lalu memencetnya. Karuan saja Kindo jadi menjerit keras kesakitan. "Ah, tangan tak apa-apa saja dibilang cidera berat! Ayo angkat bungkusan batu itu!" kata Tasaki pula lalu tinggalkan Kindo di tempat itu. "Mati aku!" keluh Kindo. Mau tak mau batu besar yang dibungkus dengan baju itu terpaksa diangkatnya. Begitu diangkat tangan kanannya laksana disengat puluhan kelajeng-king. Sakitnya bukan kepalang. "Ah, mengapa nasibku jelek amat. Perut kelaparan! Badan babak-belur begini! Eh, enak saja dia menyuruhku mengangkat batu ini! Padahal tanganku serasa mau copot! Eh, bagaimana kalau aku panggil burung Elang di Puri itu.... Burung itu bisa kuminta tolong mengangkatkan batu ini...." Kindo turunkan bungkusan berisi batu ke tanah. Lalu kedua matanya dipejamkan. Mulutnya berbisik. "Raden... datanglah. Aku perlu bantuanmu...." Hanya sekali memanggil, seolah hampir tak percaya Kindo mendengar suara sayap mengepak lalu di atas cabang pohon di atasnya tiba-tiba saja sudah muncul Raden, burung Elang bes ar itu. Binatang ini menjulurkan kepalanya ke arah Kindo seolah siap menunggu perintah. "Ah, syukur kau datang Raden...." "Kuakk... kuakk... kuaakkkkk!" Raden menyahuti. "Tolong aku mengangkat batu dalam bungkusan itu Raden," kata Kindo. "Kuakk... kuakk... kuaakkk....!" "Hai! Jangan menguak saja! Turun ke sini. Bantu aku mengangkat batu dalam bungkusan." "Kuakk... kuakkk... kuakkkk!" Burung Elang besar menguak lagi lalu gelengkan kepalanya berulang kali. "Apa?! Jadi kau tidak mau menolongku?!" seru Kindo. Burung Elang menggeleng lagi. Lalu merentangkan sayapnya dan lenyap dari tempat itu. Kindo pukul keningnya sendiri dengan tangan kiri. "Tak ada jalan lain! Aku memang harus mengangkat sendiri batu besar ini!" Kindo ulurkan tangannya. "Aduh!" kembali anak ini mengeluh kesakitan begitu lengannya tertarik oleh batu yang berat. Terbungkuk-bungkuk dan tak hentinya meringis serta mengerang Kindo melangkah tinggalkan tempat itu. TAMAT Episode Selanjutnya: PEDANG DARAH BIRU Gudang Ebook (ebookHP.com) http://www.zheraf.net